hari-hari yang berkah..
Setiap harinya, seorang ustadz muda yang sedang naik daun dibelantara pergerakan dakwah di Indonesia masih sempat shalat berjamaah dengan para tetangganya. Tidak hanya itu, setiap pagi ia menyediakan waktu untuk siapa saja yang hadir di majelis pengajian selepas shalat subuh berjamaah untuk bertanya dan berdiskusi tentang segala sesuatu seputar Islam, meski jadwal berda’wahnya amat sangat padat.
Memiliki jadwal berda’wah yang padat tentu saja merupakan konsekuensi wajar yang semestinya diterima oleh setiap da’i, bukan hanya ustadz muda di atas. Namun ia dapat kita contoh, mewakili figur-figur da’i lain.
Ustadz muda tadi, —kita sebut saja ustadz Ahmad, bukan sosok da’i yang sulit ditemui. Selama ia tidak pergi keluar kota, dan tetap dapat kembali ke rumahnya selepas beraktivitas seharian, maka dapat dipastikan ia akan berusaha shalat berjamaah di masjid dekat rumahnya, sehingga selain melihatnya di media massa sebagai da’i terkenal, para tetangganya pun dapat menemuinya sebagai seorang Ahmad, warga biasa yang terikat secara sosial dengan lingkungan masyarakatnya.
Tidak banyak figur terkenal yang mampu hadir di tengah masyarakatnya sebanyak ia hadir di media massa, sehingga kadang masyarakat justru lebih banyak mengenal dirinya melalui media massa, bukan lewat interaksi sehari-hari sebagai sesama warga perkampungan atau perumahan tertentu. Meski tidak ada keharusan untuk memiliki porsi yang sama antara aktivitas kita di luar rumah dan aktivitas di lingkungan rumah kecuali sekadar dalam tataran ideal, sosok yang mampu bertetangga dengan baik di samping kegiatannya yang menggunung, dianggap sebagai sosok yang istimewa, mengingat sulitnya menjalani keduanya dengan kualitas yang sama baik.
Kadang seorang selebritis sulit bertemu dengan tetangganya, karena waktu kerja yang tidak beririsan dan lain-lain, sehingga benar-benar muncul di tengah masyarakat bila ada acara-acara tertentu saja, tanpa perwakilan dari sanak saudara, asisten, pembantu, atau bahkan kehadiran yang hanya diwakili oleh sumbangan berupa materi. Bila kehadiran seorang selebritis, —apakah itu seorang tokoh intelektual, tokoh agama atau tokoh dari bidang lain, di tengah masyarakat akan meminimalisasi kesenjangan jarak dan emosional antara mereka dan anggota masyarakat, alangkah baiknya bila seorang yang dikenal banyak orang juga mampu meluangkan waktu lebih banyak untuk tetangga-tetangganya.
Ustadz Ahmad paling tidak sudah memperlihatkan kesungguh-sungguhannya untuk menjadi warga yang baik, minimal di lingkungan rukun tetangganya. Kesibukannya yang menggunung tidak membuatnya lupa bahwa banyak orang disekelilingnya, yang juga membutuhkan dirinya, mengambil manfaat darinya.
Menyibukkan diri dengan amalan yang bermanfaat memang baik untuk diri kita sendiri. Akan tetapi kesibukan yang lebih utama yaitu kesibukan yang baik untuk diri sendiri dan juga baik untuk orang lain. Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa muslim yang baik adalah muslim yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain, wajar bila banyak orang berlomba berbuat baik terhadap orang lain, diluar berbuat baik pada dirinya sendiri.
Ketika matahari tersenyum malu-malu menyapa kita di pagi hari, saat itulah kita telah siap beraktivitas, menebar manfaat dan kebaikan pada semua orang, baik yang bersinggungan langsung dengan diri kita di keseharian, maupun yang terkena manfaat dari amalan kebaikan kita, tanpa pernah sempat mengenal siapa kita.
Seperti itulah yang dilakukan ustadz Ahmad selama ini. Selepas majlis selepas shalat subuh yang diadakannya, ia pun berangkat ke luar rumah untuk bekerja, berda’wah menebarkan kebaikan di mana-mana, hingga fajar kembali menemuinya dengan ceria, seceria tetangga-tetangganya yang bersyukur atas kehadiran beliau di lingkungan mereka. (Ge’)
Memiliki jadwal berda’wah yang padat tentu saja merupakan konsekuensi wajar yang semestinya diterima oleh setiap da’i, bukan hanya ustadz muda di atas. Namun ia dapat kita contoh, mewakili figur-figur da’i lain.
Ustadz muda tadi, —kita sebut saja ustadz Ahmad, bukan sosok da’i yang sulit ditemui. Selama ia tidak pergi keluar kota, dan tetap dapat kembali ke rumahnya selepas beraktivitas seharian, maka dapat dipastikan ia akan berusaha shalat berjamaah di masjid dekat rumahnya, sehingga selain melihatnya di media massa sebagai da’i terkenal, para tetangganya pun dapat menemuinya sebagai seorang Ahmad, warga biasa yang terikat secara sosial dengan lingkungan masyarakatnya.
Tidak banyak figur terkenal yang mampu hadir di tengah masyarakatnya sebanyak ia hadir di media massa, sehingga kadang masyarakat justru lebih banyak mengenal dirinya melalui media massa, bukan lewat interaksi sehari-hari sebagai sesama warga perkampungan atau perumahan tertentu. Meski tidak ada keharusan untuk memiliki porsi yang sama antara aktivitas kita di luar rumah dan aktivitas di lingkungan rumah kecuali sekadar dalam tataran ideal, sosok yang mampu bertetangga dengan baik di samping kegiatannya yang menggunung, dianggap sebagai sosok yang istimewa, mengingat sulitnya menjalani keduanya dengan kualitas yang sama baik.
Kadang seorang selebritis sulit bertemu dengan tetangganya, karena waktu kerja yang tidak beririsan dan lain-lain, sehingga benar-benar muncul di tengah masyarakat bila ada acara-acara tertentu saja, tanpa perwakilan dari sanak saudara, asisten, pembantu, atau bahkan kehadiran yang hanya diwakili oleh sumbangan berupa materi. Bila kehadiran seorang selebritis, —apakah itu seorang tokoh intelektual, tokoh agama atau tokoh dari bidang lain, di tengah masyarakat akan meminimalisasi kesenjangan jarak dan emosional antara mereka dan anggota masyarakat, alangkah baiknya bila seorang yang dikenal banyak orang juga mampu meluangkan waktu lebih banyak untuk tetangga-tetangganya.
Ustadz Ahmad paling tidak sudah memperlihatkan kesungguh-sungguhannya untuk menjadi warga yang baik, minimal di lingkungan rukun tetangganya. Kesibukannya yang menggunung tidak membuatnya lupa bahwa banyak orang disekelilingnya, yang juga membutuhkan dirinya, mengambil manfaat darinya.
Menyibukkan diri dengan amalan yang bermanfaat memang baik untuk diri kita sendiri. Akan tetapi kesibukan yang lebih utama yaitu kesibukan yang baik untuk diri sendiri dan juga baik untuk orang lain. Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa muslim yang baik adalah muslim yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain, wajar bila banyak orang berlomba berbuat baik terhadap orang lain, diluar berbuat baik pada dirinya sendiri.
Ketika matahari tersenyum malu-malu menyapa kita di pagi hari, saat itulah kita telah siap beraktivitas, menebar manfaat dan kebaikan pada semua orang, baik yang bersinggungan langsung dengan diri kita di keseharian, maupun yang terkena manfaat dari amalan kebaikan kita, tanpa pernah sempat mengenal siapa kita.
Seperti itulah yang dilakukan ustadz Ahmad selama ini. Selepas majlis selepas shalat subuh yang diadakannya, ia pun berangkat ke luar rumah untuk bekerja, berda’wah menebarkan kebaikan di mana-mana, hingga fajar kembali menemuinya dengan ceria, seceria tetangga-tetangganya yang bersyukur atas kehadiran beliau di lingkungan mereka. (Ge’)
Comments
Dear Jamil.
W O R K
I N
B L I S S .
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Your Ahmad is working and living his everyday life in bliss. He doesn't force himself too hard to
do the tasks. He must feel not too
much pressures on himself to serve
his people.
Ahmad is working in the field where he love to do it. He sees his jobs as natural expressions of his gratitute to Her, his god.
He is our boy next door. He say
his teachings/preachings/guidances and he is still stay with us as our good neighbour doing other services to his direct community such as working together to clean the sewage lines, picking up and collecting waste materials to keep our living environment clean
& tidy.
He loves us as his community members, his friends and everyone loves him. He has done whatever he could do to his community.
Now, let us try to see who are his community members.
About 30% of the population stays below the poverty line and
about two in ten of the community members in their productive age
are jobless.
About 65% of the people are
nicotine addicts and they don't
have very good physical endurances
in hard jobs beside their malnutrition problems. They have
to use some time in their daily life including their working hours for smoking and that mean reducing the productive hours.
A new yardstick used by United
Nations for measuring the level of human resource status indicated that Ahmad's people prosperity is
lower than Viet Nam, a newcomer in
the world open economic system.
Ahmad is living in his community
with a lot of social sickness and we could not expect him to
handle all of the problems in his community himself. The most probably is that Ahmad is not a
job specialist to create new jobs
for his community members since he is only a general moralist with some knowledge in religious laws. He has no position to do that since his moral guidances, teachings or preachings are useless to his hungry neighbours
who need their meal just one time in a day.
A young man like Ahmad is only the
one who prepares the basic moral motivations to live this life
and he is not the one who prepares trainings and guidances for his jobless community members to start a job and get money for a handful of rice for their tomorrow meal.
We still need a lot of good young
men and women to do do the other
tasks that Ahmad can not do.
They could do the works in their jobs and feel the bliss like Ahmad
feels now.
We are full of hope for our young generations.
Love:
Orto Dehl.