maafkan...
“Jangan pergi, nak…,”
Perempuan setengah baya itu berkata lirih diantara isakannya yang tak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Tangisnya menyiratkan kesedihan dan penyesalan yang dalam. Kepalanya yang beruban terangguk-angguk. Bahunya bergetar karena ledakan tangis yang ditahannya.
Perempuan muda yang diajaknya bicara berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. Mematung di depan pintu. Kedua lengannya mendekap map berisikan berkas-berkas pekerjaannya di kantor. Kepalanya tertunduk. Menatap ujung kakinya yang tiba-tiba tak kuasa digerakkan.
“Ibu tidak bermaksud menyakiti kamu, nak…,”
Kalimatnya terhenti karena isakan tangisnya kembali membuatnya sulit berkata-kata. Perempuan muda tadi masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam. Memberi kesempatan berbicara pada sosok yang tersandar lesu pada bangku tua di sudut ruang itu.
“Kamu jangan masukkan dalam hati ya…,”
Terdengar lagi suara perempuan setengah baya itu. Masih diselingi tangis.
Perempuan muda yang dipanggilnya “nak” itu menoleh perlahan. Terlihat bulir-bulir air mata berkumpul berdesakan di sudut matanya.
Sejak ditinggal oleh ibu kandungnya di usia belia, perempuan muda itu tidak banyak bersentuhan dengan kasih sayang orangtua. Ayahnya pun tidak banyak memberi perhatian selain kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Ketika sang ayah menikah kembali dan menghadirkan sosok ibu baru dikehidupannya. Kesehariannya tidak berlangsung lebih baik. Terlebih dalam pemenuhan perhatian dan kasih sayang. Tidak sekadar tidak terpenuhinya kasih sayang. Kata-kata kasar dan menyakitkan bukan hal yang aneh terdengar di telinganya.
Semua itu berjalan bertahun-tahun. Hingga beberapa tahun belakangan ini ia mendapat kerja di sebuah perusahaan terkemuka di ibukota. Meski tetap tidak ada perhatian dan kasih sayang untuknya. Secara materi ia telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sejak ia memiliki penghasilan sendiri, bahkan sebelum mendapatkan penghasilan tetap, ia telah membagi penghasilannya untuk kedua orangtuanya. Tak jarang ia menyumbang biaya pendidikan adik-adik tirinya. Lebih dari ¾ dari penghasilannya per bulan dikeluarkannya untuk sang ayah dan keluarga. Sejak itulah kepahitan kata-kata dari ibu tirinya berkurang sedikit demi sedikit.
Namun keadaan yang terasa lapang baginya itu tak berlangsung lama. Belakangan ini apa yang pernah dialaminya bertahun-tahun kembali terjadi. Sudah seminggu belakangan ini sepanjang hari ibu tirinya memarahinya dengan suara keras. Untuk hal-hal yang wajar dan tidak. Untuk kesalahannya maupun bukan. Pada akhirnya untuk segala hal di dirinya. Tak luput dari kritikan pedasnya. Beruntung karena ia harus pergi bekerja sejak pagi hari, ia tak harus terus-menerus mendengarkan omelan ibunya itu.
Membanting barang-barang bila dirasa perlu. Mengiringi semburan kalimat-kalimat bernada tinggi yang diucapkan dengan penuh emosi. Kata-kata yang diucapkan amat tidak pantas untuk diucapkan seorang dewasa terlebih dengan label ‘ibu’. Dan si anak perempuan itu hanya diam. tidak pernah membalas satu kata pun. Karena satu kalimat yang keluar dari mulutnya berarti tambahan hujan maki dan cemoohan dari sang ibu. Maka kini ia pun hanya diam. Termasuk ketika ibunya memintanya keluar dari rumah.
Sakit hatinya hanya ditumpahkan melalui air mata. Membasahi bantal tidurnya. Diam-diam. Ia berusaha memaafkan segala perbuatan dan perkataan ibu yang bersedia mengurusnya sejak kecil hingga kini. Ia berusaha mengerti bahwa segala yang diterimanya itu adalah imbas dari beratnya kehidupan yang dirasakan oleh ibunya itu.
Ketidakpedualian sang ayah pada keluarga. Ketidaknyamanan lingkungan disekitar tempat tinggalnya yang lebih banyak merugikan tetangga daripada membantu. Dan segala keruwetan pekerjaan rumah tangga. Dihadapi oleh sang ibu sehari-hari. Meski kadang ia tidak melihat hal-hal tersebut sebagai sebab yang bisa membuatnya stress.
Ia mencoba mengerti bahwa hal-hal yang tidak dianggapnya masalah itu, mungkin adalah masalah besar bagi ibunya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan ibunya untuk keluar dari rumah.
“Ibu menyesal sudah marahin kamu…,”
Perlahan perempuan muda itu bergerak ke arah ibunya. Tatapannya masih tertunduk ke lantai. Ia tidak berani menatap wajah ibunya. Bila selama ini karena takut dan enggan menyulut emosi. Karena tak ingin terpancing untuk membalas perkataan ibunya yang sedang marah. Kali ini ia tak kuasa memandang karena sedih yang mendalam. Haru yang memenuhi dada membuatnya tak dapat berkata-kata.
Barangkali amarah yang sudah terbiasa diterimanya dengan santun justru telah membuat sang ibu jatuh sayang. Dengan atau tanpa disadari.
Isak dan nada suaranya yang nyaris memohon membuatnya iba. Menghapuskan segala luka dan perih yang bertahun-tahun tertoreh cukup dalam di hatinya.
Bisa jadi penyesalan sesaat saja yang ada di hadapannya. Amat mungkin keesokan hari ia akan mendapatkan sang ibu kembali pada tabiatnya semula. Mudah marah tanpa sebab. Tapi itupun tak mengapa baginya. Karena sejak ayahnya menikahi perempuan itu, ia telah memanggilnya “ibu”. Meski tidak dari kandungannya ia lahir. Walau tidak banyak rasa sayang yang diterimanya.
“Sudahlah, bu.. jangan menangis terus…,”
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Kedua telapak tangannya ditangkupkan. Menutup seluruh jari-jari tangan sang ibu yang masih menangis. Tanpa suara. (Ge’)
Perempuan setengah baya itu berkata lirih diantara isakannya yang tak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Tangisnya menyiratkan kesedihan dan penyesalan yang dalam. Kepalanya yang beruban terangguk-angguk. Bahunya bergetar karena ledakan tangis yang ditahannya.
Perempuan muda yang diajaknya bicara berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. Mematung di depan pintu. Kedua lengannya mendekap map berisikan berkas-berkas pekerjaannya di kantor. Kepalanya tertunduk. Menatap ujung kakinya yang tiba-tiba tak kuasa digerakkan.
“Ibu tidak bermaksud menyakiti kamu, nak…,”
Kalimatnya terhenti karena isakan tangisnya kembali membuatnya sulit berkata-kata. Perempuan muda tadi masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam. Memberi kesempatan berbicara pada sosok yang tersandar lesu pada bangku tua di sudut ruang itu.
“Kamu jangan masukkan dalam hati ya…,”
Terdengar lagi suara perempuan setengah baya itu. Masih diselingi tangis.
Perempuan muda yang dipanggilnya “nak” itu menoleh perlahan. Terlihat bulir-bulir air mata berkumpul berdesakan di sudut matanya.
Sejak ditinggal oleh ibu kandungnya di usia belia, perempuan muda itu tidak banyak bersentuhan dengan kasih sayang orangtua. Ayahnya pun tidak banyak memberi perhatian selain kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Ketika sang ayah menikah kembali dan menghadirkan sosok ibu baru dikehidupannya. Kesehariannya tidak berlangsung lebih baik. Terlebih dalam pemenuhan perhatian dan kasih sayang. Tidak sekadar tidak terpenuhinya kasih sayang. Kata-kata kasar dan menyakitkan bukan hal yang aneh terdengar di telinganya.
Semua itu berjalan bertahun-tahun. Hingga beberapa tahun belakangan ini ia mendapat kerja di sebuah perusahaan terkemuka di ibukota. Meski tetap tidak ada perhatian dan kasih sayang untuknya. Secara materi ia telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sejak ia memiliki penghasilan sendiri, bahkan sebelum mendapatkan penghasilan tetap, ia telah membagi penghasilannya untuk kedua orangtuanya. Tak jarang ia menyumbang biaya pendidikan adik-adik tirinya. Lebih dari ¾ dari penghasilannya per bulan dikeluarkannya untuk sang ayah dan keluarga. Sejak itulah kepahitan kata-kata dari ibu tirinya berkurang sedikit demi sedikit.
Namun keadaan yang terasa lapang baginya itu tak berlangsung lama. Belakangan ini apa yang pernah dialaminya bertahun-tahun kembali terjadi. Sudah seminggu belakangan ini sepanjang hari ibu tirinya memarahinya dengan suara keras. Untuk hal-hal yang wajar dan tidak. Untuk kesalahannya maupun bukan. Pada akhirnya untuk segala hal di dirinya. Tak luput dari kritikan pedasnya. Beruntung karena ia harus pergi bekerja sejak pagi hari, ia tak harus terus-menerus mendengarkan omelan ibunya itu.
Membanting barang-barang bila dirasa perlu. Mengiringi semburan kalimat-kalimat bernada tinggi yang diucapkan dengan penuh emosi. Kata-kata yang diucapkan amat tidak pantas untuk diucapkan seorang dewasa terlebih dengan label ‘ibu’. Dan si anak perempuan itu hanya diam. tidak pernah membalas satu kata pun. Karena satu kalimat yang keluar dari mulutnya berarti tambahan hujan maki dan cemoohan dari sang ibu. Maka kini ia pun hanya diam. Termasuk ketika ibunya memintanya keluar dari rumah.
Sakit hatinya hanya ditumpahkan melalui air mata. Membasahi bantal tidurnya. Diam-diam. Ia berusaha memaafkan segala perbuatan dan perkataan ibu yang bersedia mengurusnya sejak kecil hingga kini. Ia berusaha mengerti bahwa segala yang diterimanya itu adalah imbas dari beratnya kehidupan yang dirasakan oleh ibunya itu.
Ketidakpedualian sang ayah pada keluarga. Ketidaknyamanan lingkungan disekitar tempat tinggalnya yang lebih banyak merugikan tetangga daripada membantu. Dan segala keruwetan pekerjaan rumah tangga. Dihadapi oleh sang ibu sehari-hari. Meski kadang ia tidak melihat hal-hal tersebut sebagai sebab yang bisa membuatnya stress.
Ia mencoba mengerti bahwa hal-hal yang tidak dianggapnya masalah itu, mungkin adalah masalah besar bagi ibunya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan ibunya untuk keluar dari rumah.
“Ibu menyesal sudah marahin kamu…,”
Perlahan perempuan muda itu bergerak ke arah ibunya. Tatapannya masih tertunduk ke lantai. Ia tidak berani menatap wajah ibunya. Bila selama ini karena takut dan enggan menyulut emosi. Karena tak ingin terpancing untuk membalas perkataan ibunya yang sedang marah. Kali ini ia tak kuasa memandang karena sedih yang mendalam. Haru yang memenuhi dada membuatnya tak dapat berkata-kata.
Barangkali amarah yang sudah terbiasa diterimanya dengan santun justru telah membuat sang ibu jatuh sayang. Dengan atau tanpa disadari.
Isak dan nada suaranya yang nyaris memohon membuatnya iba. Menghapuskan segala luka dan perih yang bertahun-tahun tertoreh cukup dalam di hatinya.
Bisa jadi penyesalan sesaat saja yang ada di hadapannya. Amat mungkin keesokan hari ia akan mendapatkan sang ibu kembali pada tabiatnya semula. Mudah marah tanpa sebab. Tapi itupun tak mengapa baginya. Karena sejak ayahnya menikahi perempuan itu, ia telah memanggilnya “ibu”. Meski tidak dari kandungannya ia lahir. Walau tidak banyak rasa sayang yang diterimanya.
“Sudahlah, bu.. jangan menangis terus…,”
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Kedua telapak tangannya ditangkupkan. Menutup seluruh jari-jari tangan sang ibu yang masih menangis. Tanpa suara. (Ge’)
Comments
hehehehe...
kalo panjang gini pasti tulisan ku untuk majalah internal
yang aku kupi paste
hehehehe
makasiy atas kunjungannya maasss....
sampe ketemu bulan desember yaahh
jangan lupa undang aku
meni poek euy (gelap gulita) mestinya ikutan Daek poek Society aja (plesetan pelem Death Poet Society).. ke ke ke ..
anyway ... siapa yang bilang my Ge ga bisa nulis ...
keep up the gud work. Seperti Ge yang punya hati terbuka, tulisan2-nya selalu terbuka untuk apapun kesimpulan yang pembacanya berikan
Solilokui AKA Attin (pan lagi ngetrend tuh, pake AKA)
hehehe... ngga bermaksud mengubah langit cerah menjadi biru kelabu apalagi sampai hujan
"writing is aloneny activity" (sopo iku sing ngomong? lali aku...)
so, barangkali saya sampai saat ini masih termasuk orang orang yang kudu bermuram hati dulu baru bisa nulis ihik..ihik..ihik.. *nyengir malu*
poek? moal katempo kitu ayeuna, eneng?
ah.. masak siiyy...
palih die atuh ari diditu nteu kedeleu mah...
("Husy! Ge! Kata orang orang tuak, "deleu" itu kosa kata yang tidak digunakan untuk menusia!" -omel Attin. hehehehe)
panggil?
terserah...
boleh zirly
boleh gita (ini ma real name! hehehe)
boleh jamil
but some people call me in simple way:
"Ge'"
and u?
Ini Zirly Gita Jamil, angkatan 93 dari SMAn 55 bukan ya?
Klo salah ya maap.