a kind of 'warning'...
Hari baru saja membuka lembaran barunya beberapa saat. Masih cukup lama waktu yang bisa dimanfaatkan untuk beristirahat. Mengumpulkan energi untuk aktivitas esok hari.
Kesunyian yang memekakkan telinga membuat janggal suasana. Saat itu nyaris tanpa suara di ruangan 3x4 meter itu. Hening yang dalam menghapus detak detik jam. Benar-benar tidak ada suara apa-apa. Kecuali denging sepi yang memenuhi gendang telinga.
Lampu pijar di tengah ruangan menerangi ala kadarnya. Terang. Namun tidak cukup menyebar hingga ke sudut-sudut ruangan kecil itu.
Lelaki itu terpekur dalam doanya. Pandangannya mengabur karena pengelihatannya dipenuhi air mata. Menetes butir demi butir ke kedua telapak tangannya yang terbuka. Menengadah. Memohon doanya terijabah.
Terlintas segala kesalahan yang terserak di kehidupannya. Berkelebat cepat. Tak henti. Dan semakin deraslah air mata yang berhambur-berlomba keluar dari kedua matanya.
Ia tak sanggup berkata-kata. Meski dalam hati. Lidahnya kelu. Rasa malu dan bersalah yang mendera dengan hebatnya membuat lekaki itu tak kuasa memohon maaf. Pada Sang Pemilik Kehidupan yang ia terima selama ini.
Sungguh ia ingin melafalkan permintaan maaf. Memohonan ampunan ampunan bagi dirinya. Bahkan menghiba. Sebagai hamba. Sungguh ingin terus mengangkat kedua telapak tangan tinggi-tinggi. Berharap dosa masih dapat diampuni.
“Ya Tuhan…,” lirih terdengar suara dari celah bibirnya yang bergetar menahan emosi yang menyesakkan dada. “Sesungguhnya hidup dan matiku terjadi atas kehendak dan kemurahanMu….” Ia tak dapat melihat apa-apa lagi dengan jelas. Kini air mata benar-benar menutupi pandangannya.
Ia tak sanggup berkata lebih banyak lagi. Sementara penyesalan demi penyesalan terus memaksanya untuk mempertahankan harapan akan ampunan. Meski ketakutan dan rasa malu yang menyeruak menghalanginya untuk meminta lebih banyak.
Kenikmatan demi kenikmatan dilaluinya. Disadari maupun tidak. Bahkan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang memang semestinya terjadi sebagai hasil jerih dan payah. Berlalu begitu saja. Tanpa mensyukurinya.
Hingga pada suatu hari.
Peristiwa itu terjadi di depan matanya sendiri. Siang belum lagi habis teriknya. Kira-kira pukul tiga sore.
Seorang ibu berusia tidak lebih dari 40 tahun. Salah seorang tetangganya. Baru mengayunkan langkah ketiganya. Berjalan keluar menuju jalan utama komplek perumahannya. Dari sebuah masjid cantik berukuran sedang. Milik komplek tempatnya tinggal.
Sebuah motor berkecepatan rendah melintasi masjid. Si ibu yang tidak menyadari datangnya motor tersebut kearahnya tetap riang bercengkrama dengan teman-temannya. Sesama peserta pengajian di masjid komplek. Terkejut dengan kehadiran motor yang menurutnya tiba-tiba, ibu tadi memundurkan langkahnya dengan cepat. Dan segalanya terjadi dalam hitungan detik.
Si ibu kehilangan keseimbangan karena bergerak mendadak. Tanpa perhitungan. Ia oleng. Terjatuh ke aspal.
Peristiwa itu tidak akan berakhir tragis kalau saja si ibu jatuh dalam posisi yang aman. Namun ia bukan ahli bela diri yang tahu dengan baik posisi aman menjatuhkan diri. Paling tidak ia tidak sempat menyadari apa yang terjadi.
Bagian yang pertama kali menyentuh aspal adalah kepala bagian belakang. Setelahnya tidak ada lagi gerakan dari si ibu yang terjatuh. Menghadap Tuhannya tidak lama setelah mengkaji ilmu-Nya di masjid dekat rumah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun…
***
Lelaki dalam kamar temaram itu mengusapkan kedua belah telapak tangannya ke muka. Berulang-ulang. Lantunan istighfar tidak lepas dari sela-sela bibirnya yang masih bergetar menahan tangis.
Rasa malu yang tak berkesudahan memenuhi ruang pikir dan jiwanya. Peristiwa di depan masjid yang berseberangan dengan rumahnya itu tak juga terhapus dari ingatannya.
Menyentaknya dari sebuah mimpi panjang tentang kehidupan. Menyodorkan kenyataan tentang pastinya sebuah akhir kenikmatan di dunia.
Termasuk nikmat akan hidup itu sendiri.
Tuhan… malu rasanya lidah ini meminta..
Mewakili harap dan takut ku akan Engkau Yang maha Kuasa..
Wahai Dzat Penggenggam Takdir ku…
Kiranya pantas untuk ku bertaubat kepada Mu..
Maka berikanlah setitik ampunan untuk ku….
(Ge’)
Comments
terima kasiy atas kunjungannya..
saran dan kritik mu amat berarti..
semoga aku bisa banyak belajar dari mu..
wahai the most beautiful "gadih minang"..
*senyam senyum senang*
indah
indah@greyindo.com
copywriter
gw ga tau hrs koment apa,... tp yg pasti kata2nya bagus bgt & lgs mengena..
Gita baca tulisan ini gw langsung mikir "Ya Allah Sempatkan saya utk bertaubat dan mohon Ampun sebelum ajal menjemput"
makasih ya say,..
makasiiiyyy indaaahh...
sering sering maen kesini yaa..
kapan niy bikin buku?
makasiy dah mampir..
jangan lupa kasiy nama dong hunn...
luv u dech awwhh..
(hihihihi)
7 May 2005.
My dear Jamil,
That man had no ability to do the prompt actions, possibly he was not athletic enough to do the fast and correct moves. The man was not fit and good in physical activities so he was slow in moving and maybe also slow in
his thinking.
Was there any possibily that the man only good in saying his prayers, prompt in attending every
lecture in the mosque, but forget
to do the needed physical exercises?. A good reminder for all of us on the needed physical
exercises!.
The accident has happened. The man
didn't produce it willingly and he
didn't draw the accident to that lady. The disaster should be put in "fate" category. Fate to the man as someone without prompter and fate to the lady.
I believe that A (God) will not very happy toward someone who neglect his physical exercises,whoever he /she is maybe and whatever his/her age is.
So, my dear, be athletic!:
Orto Delh