Hari Baru untuk Dani

Suatu siang di kantin karyawan suatu departemen pemerintah di bilangan Jakarta Pusat.

“Terimakasih atas pinjaman bukunya,” kata Dani kepada teman yang duduk tepat dihadapannya.
“Buku itu sangat membantu saya membuka mata atas kesalahan saya selama ini,” lanjutnya lagi.

Dani adalah seorang perempuan muda berusia diawal 30-an. Badannya tegap, dengan bentuk tubuh yang sempurna, hasil disiplinnya berolahraga sejak masih remaja. Wajahnya cerah, menyenangkan untuk dilihat. Sorot matanya tajam dan cerdas. Bicaranya jelas, dengan penyampaian yang mudah dimengerti dan tidak bertele-tele. Dari cara berjalannya yang cepat dan geraknya yang sigap, terkesan bila Dani adalah karyawan yang enerjik dengan kerja yang efektif sepanjang waktu.

“Terlalu lama saya memendam amarah tanpa dapat membebaskan diri dari akibat negatif yang disebabkannya.” Suara Dani kembali terdengar. Nyaris tenggelam diantara hiruk pikuknya suasana kantin di jam makan siang.

Teman Dani, Eisha, adalah seorang perempuan muda yang tidak kalah menarik, dengan usia tidak jauh dari Dani. Tampaknya mereka memang seusia. Eisha adalah seorang kepala perpustakaan di perguruan tinggi negeri di selatan Jakarta. Di Fakultas dimana Dani dan dirinya sendiri menimba ilmu, sebelum mengamalkannya di dunia kerja yang nyata, belasan tahun sebelum pertemuan mereka hari ini.

Eisha duduk diam-diam sambil memainkan gelas minumannya. Sejak kuliah Dani memang banyak bicara. Dan Eisha masih saja menjadi pendengar yang baik baginya. Hingga hari ini.
“Amarah yang saya pendam itu membuat saya tidak mampu berpikir jernih. Tidak mampu tersenyum dengan lepas, dan masih banyak lagi kerugian yang saya alami,” tutur Dani memulai sharing-nya pada sahabat kentalnya semasa kuliah.

“Perlahan saya berubah..tidak lagi menyenangkan bagi orang-orang di sekitar, bahkan diri sendiri.” Pesanan makanan mereka datang memenuhi sebagian meja. Dan pembicaraan sejenak terhenti.

Sambil makan siang mereka terus berbincang, memanfaatkan waktu yang tidak banyak itu sebelum kembali bekerja. “Kemarahan seakan memenuhi bilik-bilik benak dan sekat-sekat hati saya hingga sesak, hingga saya sulit tersenyum, hingga saya sulit berpikir jernih…,” kata Dani.

Eisha menatap kedua mata Dani lekat-lekat. Menyimak tiap kata sahabatnya itu ucapkan dengan seksama. Sebagai orang yang hampir setiap hari berkomunikasi —baik lewat tatap muka seperti hari ini, maupun lewat kemudahan teknologi— ia mengikuti perkembangan di hampir setiap fase hidup Dani. Termasuk ketika ia menemui beberapa masalah dalam perjalanan hidupnya.

Sepanjang yang Eisha tahu, Dani termasuk perempuan tegar yang mampu melalui segala konflik dan cobaan hidup yang datang menghampirinya. Kecuali satu hal yang setahun belakangan ini mengganggu pikirannya. Dani menemui sedikit masalah di lingkungan sosialnya.

Seorang temannya mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaannya. Sepele tampaknya. Namun Dani ternyata memendam kemarahan mendalam.

Selama setahun itu Dani mulai berubah, tanpa disadari oleh dirinya sendiri. Ia menjadi amat mudah tersinggung. Tiap perkataan yang ditujukan padanya ditanggapi dengan curiga, bahkan kadang sinis.

Dani pun sebenarnya merasakan perubahan itu. Ia pun mengalami sedikit depresi karena menyadari bahwa seharusnya ia tidak perlu seperti itu. Sampai suatu hari Eisha meminjamkannya buku dari perpustakaan kampus. Tentang mengatasi marah.

“Bener juga ya, Sha…,” Dani melanjutkan obrolannya dengan Eisha. “Kalo saya memendam kemarahan seperti tiu terus, lama-kelamaan saya sendiri juga yang rugi. Saya jadi mudah pusing, mudah kehilangan semangat, mudah sedih karena saya merasa orang-orang sekitar saya tidak mengerti saya.”

“Padahal mereka tidak mengerti itu karena bingung, kok tiba-tiba saya jadi ketus bicaranya, jadi judes mukanya…,” tutur Dani sambil tersenyum-senyum. Wajah cantiknya bersemburat kemerahan. Dengan legowo ia rupanya sedang mentertawakan dirinya sendiri.

“Setelah saya mencoba melihat dari sudut pandang lain, saya menemukan cara lain untuk melepaskan kemarahan saya dengan benar dan tepat. Dan saya tidak mau lagi berlarut dalam marah yang tidak menguntungkan siapa-siapa, justru merugikan, Sha.” Dani terdiam sejenak. Menanti tanggapan dari sahabat baiknya itu.

Eisha hanya tersenyum kecil. Ia telah menunggu saat seperti ini untuk sekian lama. Saat dimana wajah Dani menjadi cerah dan ceria seperti sediakala. Mengiringi cara bicaranya yang optimis dan bersemangat. Marah memang harus disalurkan dengan tepat. BIla tidak ingin menemukan banyak kerugian darinya.

“Alhamdulillah…,” sahut Eisha singkat.

Jam tangan di lengan mungilnya telah menunjukkan bahwa waktu istirahat makan siang sudah hampir selesai. “Yuk ah, Din… kita teruskan lagi pembicaraan ini nanti malam saja. Kamu jadi datang ke reuni SD kita, kan?” Tanya Eisha sambil bangkit dari duduknya.

Dani mengangguk. Senyum manisnya mengembang. Membuat kedua matanya menyipit ramah. Kini ia tidak harus menghindar dari siapapun. Justru ia tak sabar saat-saat seperti dulu lagi. Saat ia mencari orang-oang untuk untuk berbagi kebaikan. Meski itu hanya sebuah untaian salam dan senyuman tulus. (Ge’)

Comments

Popular Posts