Semoga Belum Terlambat
Mengapa ada orang yang selalu terlambat? Sementara terlambat itu merugikan diri sendiri dan orang lain. Banyak hal tertinggal karena terlambat, sekian urusan terhambat karena terlambat dan masih banyak lagi kerugian yang dapat ditimbulkan dari sebuah keterlambatan.
Walau lingkungan juga berpengaruh terhadap kebiasaan terlambat, tampaknya karakter seseorang itu lebih menentukan apakah seseorang itu akan memiliki kebiasaan terlambat atau tidak, di sebagian atau sepanjang hidupnya.
Terlambat pun dapat disebabkan hal-hal diluar keinginan si pelaku, dan bukan hanya sebuah akibat yang ditimbulkan dari tidak kuatnya keinginan seseorang untuk tidak menjadi manusia dengan label tukang terlambat.
Saya adalah satu dari sekian jumlah orang yang sering terlambat. Saya terlambat hampir di sepanjang usia. Memalukan memang. Dan saya ingin. Begitu ingin tepatnya. Mengubah kebiasaan buruk saya ini sehingga tidak perlu lagi menemukan banyak kerugian dalam hidup yang diawali dari kebiasaan saya terlambat.
Saya tumbuh dan besar dari keluarga yang tidak tepat waktu. Meski tidak separah saya dalam hal terlambat, hampir seluruh anggota keluarga inti (baca: mami, papi, dan ke3 siblings ku) lebih sering terlambat dibanding orang-orang kebanyakan. Sebenarnya kakak tertua saya termasuk orang yang tepat waktu, karena karakter dasar dirinya yang memang ‘teratur’ dan ‘disiplin’ dalam keseharian. Termasuk memenej diri agar tidak terlambat. Namun, karena anggota keluarga yang lain termasuk mahir dalam urusan terlambat, tak urung kakak tertua saya itu sering juga terlambat dengan sebab “terkena getah” alias terlambat diakibatkan kami yang sering terlambat.
Misalkan saja, kakak tertua saya yang sebenarnya bukan orang yang sering terlambat itu, harus terlambat karena menunggu kami, anggota keluarga lainnya, dalam acara atau urusan yang mengharuskan kami untuk hadir bersamaan dalam satu waktu. Acara keluarga, misalnya.
Kakak saya yang kedua, bercerita bahwa ia belajar untuk tidak terlambat ketika menikah. Suaminya berasal dari keluarga yang tepat waktu. Yang menghadiri janji sekian menit lebih dulu dari waktu yang disepakati bersama demi menghindari tersianya waktu hanya sekadar untuk menunggu.
Kakak saya yang ketiga pun tampaknya belajar untuk tidak terlambat selama ia beranjak dewasa dan menyadari akan besarnya kerugian yang akan diterimanya dari sebuah keterlambatan. Papi selalu tergopoh-gopoh menyiapkan diri untuk pergi bekerja, padahal ia setiap hati memiliki jadwal kerja yang sama. Dan mami sesekali terlambat karena ini dan itu.
Mereka pada akhirnya berhasil memerangi keterlambatan yang menjadi benalu dalam diri mereka sendiri. Kini tinggal saya seorang. Yang masih saja berteman baik dengan si terlambat ini. Kasihan sekali diri saya ini. Betapa bodoh dan meruginya.
Ketika saya evaluasi waktu-waktu saya. Terlihat saat dimana saya tidak terlambat. Dan itu menyenangkan. Tidak ada kesal bahkan kesediha pada orang-orang yang harus menunggu saya, tidak ada pekerjaan yang tertahan hingga menumpuk di satu waktu, tidak ada hal-hal merugikan yang disebabkan keterlambatan yang saya buat sendiri.
Berarti saya bukan tidak berbakat untuk tidak terlambat. Namun saya tidak cukup teguh untuk mengusir musuh bebuyutan saya itu untuk beralih menjadi individu yang baru. Yang selalu berusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Menjadi pribadi dengan tekad baru menjadi musuh keterlambatan. (Bismillah…)
(Zirlygita Jamil)
Walau lingkungan juga berpengaruh terhadap kebiasaan terlambat, tampaknya karakter seseorang itu lebih menentukan apakah seseorang itu akan memiliki kebiasaan terlambat atau tidak, di sebagian atau sepanjang hidupnya.
Terlambat pun dapat disebabkan hal-hal diluar keinginan si pelaku, dan bukan hanya sebuah akibat yang ditimbulkan dari tidak kuatnya keinginan seseorang untuk tidak menjadi manusia dengan label tukang terlambat.
Saya adalah satu dari sekian jumlah orang yang sering terlambat. Saya terlambat hampir di sepanjang usia. Memalukan memang. Dan saya ingin. Begitu ingin tepatnya. Mengubah kebiasaan buruk saya ini sehingga tidak perlu lagi menemukan banyak kerugian dalam hidup yang diawali dari kebiasaan saya terlambat.
Saya tumbuh dan besar dari keluarga yang tidak tepat waktu. Meski tidak separah saya dalam hal terlambat, hampir seluruh anggota keluarga inti (baca: mami, papi, dan ke3 siblings ku) lebih sering terlambat dibanding orang-orang kebanyakan. Sebenarnya kakak tertua saya termasuk orang yang tepat waktu, karena karakter dasar dirinya yang memang ‘teratur’ dan ‘disiplin’ dalam keseharian. Termasuk memenej diri agar tidak terlambat. Namun, karena anggota keluarga yang lain termasuk mahir dalam urusan terlambat, tak urung kakak tertua saya itu sering juga terlambat dengan sebab “terkena getah” alias terlambat diakibatkan kami yang sering terlambat.
Misalkan saja, kakak tertua saya yang sebenarnya bukan orang yang sering terlambat itu, harus terlambat karena menunggu kami, anggota keluarga lainnya, dalam acara atau urusan yang mengharuskan kami untuk hadir bersamaan dalam satu waktu. Acara keluarga, misalnya.
Kakak saya yang kedua, bercerita bahwa ia belajar untuk tidak terlambat ketika menikah. Suaminya berasal dari keluarga yang tepat waktu. Yang menghadiri janji sekian menit lebih dulu dari waktu yang disepakati bersama demi menghindari tersianya waktu hanya sekadar untuk menunggu.
Kakak saya yang ketiga pun tampaknya belajar untuk tidak terlambat selama ia beranjak dewasa dan menyadari akan besarnya kerugian yang akan diterimanya dari sebuah keterlambatan. Papi selalu tergopoh-gopoh menyiapkan diri untuk pergi bekerja, padahal ia setiap hati memiliki jadwal kerja yang sama. Dan mami sesekali terlambat karena ini dan itu.
Mereka pada akhirnya berhasil memerangi keterlambatan yang menjadi benalu dalam diri mereka sendiri. Kini tinggal saya seorang. Yang masih saja berteman baik dengan si terlambat ini. Kasihan sekali diri saya ini. Betapa bodoh dan meruginya.
Ketika saya evaluasi waktu-waktu saya. Terlihat saat dimana saya tidak terlambat. Dan itu menyenangkan. Tidak ada kesal bahkan kesediha pada orang-orang yang harus menunggu saya, tidak ada pekerjaan yang tertahan hingga menumpuk di satu waktu, tidak ada hal-hal merugikan yang disebabkan keterlambatan yang saya buat sendiri.
Berarti saya bukan tidak berbakat untuk tidak terlambat. Namun saya tidak cukup teguh untuk mengusir musuh bebuyutan saya itu untuk beralih menjadi individu yang baru. Yang selalu berusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Menjadi pribadi dengan tekad baru menjadi musuh keterlambatan. (Bismillah…)
(Zirlygita Jamil)
Comments
Salam kenal & salam hangat dari West Africa!
:-)
thx, ya mas..
terimakasih juga sudah bersedia mampir
*senyum senang*
salam kenal juga
temannya Mas Gautama kan, ya?
tadi pagi malah si "a" yang terlambat. coba bangun sebelum subuh ya, kan lebih sehat n bisa nyambangin bursa koran on time (sambil berusaha nggak nyalahin alarm yg gagal ngebangunin). sori ya ge hehehe... :p
ngga apa apa
terima kasih yaa...
*senyum tulus*
(makasiy juga dah sempetin mampir plus meninggalkan 'jejak' disini =))
7 May 2005.
My dear Jamil,
Let us first, ask your own body, dear. Are you allergic to somethings?.
'Cause there is an allergy history in the family. Some of that Feng Shui teachings are right: among other things, you are not allowed to have an open book rack. The rack
is collecting dusts that will create some problems to someone with alergic to dusts. The effects: most of the time, she is feeling sleepy and wants to sleep more with the results: she finds herself be late again.
If you feel you are allergic to somethings, you should be sure to find your allergens. Deodorants
could have alluminium salts as your allergen. You could find essential oils as your allergens in perfumes, deodorants. Other possible allergens: phthalates in insect repellents; resins in plastics, hair spray, nail varnish; soaps in cleansing creams and shampoo. There are some more other allergens too many to write down here.
In general way of life, we should keep our surroundings clean, we should have some proper
ventilations and kick that old newspapers which grow a lot of bacteries out of our rooms. Of course, here, we are easier to say them than to practice them.
I don,t know if you are allergic to that black smokes of those public buses.
If you find that you are not allergic to anything,then, we talk about this next time.
Love you always:
Orto Dehl.