dari sebuah obrolan..
Setelah menjatuhkan diri di bangku sebelah tempat ku bekerja, seorang teman tiba-tiba saja bercerita bahwa ia merasa perlu mengubah perilaku diri, menjadi lebih sabar menghadapi beragam perilaku manusia yang sudah dan akan ditemuinya.
”Aku tuh kepingin deh seperti si Tasia, bisa menahan diri ketika ada orang yang membuatnya kecewa atau marah. Aku tuh nggak bisa, aku pasti langsung angkat bicara,” tuturnya. Saya hanya bisa tersenyum tanpa merasa perlu mengomentari keluhannya itu, karena ia memang tipe cerdas yang dapat dengan cepat mengetahui dengan sendirinya apa yang menjadi masalah bagi dirinya. Rasa-rasanya sih saya hanya perlu mendengarkannya. Lain tidak.
”Barangkali ketidakmampuanku menahan emosi inilah yang menyebabkan jodohku belum juga datang sampai hari ini,” sambungnya, kali ini dengan mimik muka yang lebih serius. ”Sepertinya Tuhan masih mengijinkanku untuk berbenah diri, menjadi diriku yang jauh lebih baik dari saat ini,” katanya lagi. Akhirnya saya pun merasa perlu menengok ke arahnya, sambil terus tersenyum saya mencoba menginformasikan padanya bahwa saya mendengarkan dan turut bersimpati atas segala yang memenuhi pikirannya belakangan ini.
Sejenak saya hentikan pekerjaan yang sedang saya kerjakan. Saya tertarik untuk merenungi sejenakl kalimat terakhirnya yang menyadarkan saya bahwa segala hal yang tertunda untuk kita miliki atau bahkan tidak dapat kita miliki, punya pesan tersendiri sesuai dengan kondisi hati si individu yang terkait. Satu kejadian dapat diartikan berbeda oleh tiap kita. Kali ini si teman menyadari bahwa belum kunjung datangnya sang pasangan jiwa dikarenakan kemurahan hati dari Tuhan Yang Maha Pemurah yang telah memberikan kesempatan untuknya memperbaiki diri.
Satu daun kering yang luruh terlepas dari pangkalnya, barangkali tidak berarti apa-apa untuk seorang yang tidak melihatnya, namun bisa sangat berarti bagi penyapu jalanan karena dari kegiatan menyapu daun-daun kering itulah ia bisa menghidupi keluarganya sampai hari ini. Daun-daun kering itu juga dapat menjadi mainan yang mengasyikkan bagi segerombolan anak-anak yang menumpuknya menjadi satu gunung-gunungan, atau menjadikannya alternatif dari mobil-mobilan setelah mengikatkan seutas benang atau tali pada ujungnya. Atau menjadi peringatan bagi seseorang yang mengidentifikasikan dirinya ke dalam sosok daun kering itu, bahwa sama seperti daun kering itu yang pernah tiada lalu menjadi ada dan berguna bagi makhluk hidup yang bernaung, berteduh dibawah rimbun pohon, mengambil manfaat dari dirinya, suatu saat ia pun akan mengalami fase dimana daun itu telah mengalaminya, yaitu menjadi kering dan terlepas dari akar kehidupannya di satu ranting, untuk kemudian melayang jatuh terhempas angin. Terbenam sebagai humus di bawah permukaan tanah.
Banyak jalan menuju ke Roma. Rasanya sudah lama sekali saya mendengar lalu membacanya, bahkan sudah lama sekali saya mengetahui sumber kalimat itu sampai-sampai saya tidak ingat lagi, sekaligus kehilangan selera untuk mencari tahu kembali asal muasal kalimat itu tersosialisasikan. Seperti banyaknya cara yang dapat kita tempuh untuk sampai ke Roma, banyak juga usaha yang dapat kita jalankan untuk menjadi hamba yang lebih baik lagi di mata-Nya. Salah satunya dengan berintrospeksi diri. Teman saya tadi menemukan jalan itu ketika ia menyadari kekurangmampuannya mengendalikan emosi, sementara saya mendapatkan kesempatan untuk mencari jalan berintrospeksi dari ketidaksengajaan saya, ketika saya meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan cerita seorang teman, walau tidak di agendakan sebelumnya. (Ge’)
”Aku tuh kepingin deh seperti si Tasia, bisa menahan diri ketika ada orang yang membuatnya kecewa atau marah. Aku tuh nggak bisa, aku pasti langsung angkat bicara,” tuturnya. Saya hanya bisa tersenyum tanpa merasa perlu mengomentari keluhannya itu, karena ia memang tipe cerdas yang dapat dengan cepat mengetahui dengan sendirinya apa yang menjadi masalah bagi dirinya. Rasa-rasanya sih saya hanya perlu mendengarkannya. Lain tidak.
”Barangkali ketidakmampuanku menahan emosi inilah yang menyebabkan jodohku belum juga datang sampai hari ini,” sambungnya, kali ini dengan mimik muka yang lebih serius. ”Sepertinya Tuhan masih mengijinkanku untuk berbenah diri, menjadi diriku yang jauh lebih baik dari saat ini,” katanya lagi. Akhirnya saya pun merasa perlu menengok ke arahnya, sambil terus tersenyum saya mencoba menginformasikan padanya bahwa saya mendengarkan dan turut bersimpati atas segala yang memenuhi pikirannya belakangan ini.
Sejenak saya hentikan pekerjaan yang sedang saya kerjakan. Saya tertarik untuk merenungi sejenakl kalimat terakhirnya yang menyadarkan saya bahwa segala hal yang tertunda untuk kita miliki atau bahkan tidak dapat kita miliki, punya pesan tersendiri sesuai dengan kondisi hati si individu yang terkait. Satu kejadian dapat diartikan berbeda oleh tiap kita. Kali ini si teman menyadari bahwa belum kunjung datangnya sang pasangan jiwa dikarenakan kemurahan hati dari Tuhan Yang Maha Pemurah yang telah memberikan kesempatan untuknya memperbaiki diri.
Satu daun kering yang luruh terlepas dari pangkalnya, barangkali tidak berarti apa-apa untuk seorang yang tidak melihatnya, namun bisa sangat berarti bagi penyapu jalanan karena dari kegiatan menyapu daun-daun kering itulah ia bisa menghidupi keluarganya sampai hari ini. Daun-daun kering itu juga dapat menjadi mainan yang mengasyikkan bagi segerombolan anak-anak yang menumpuknya menjadi satu gunung-gunungan, atau menjadikannya alternatif dari mobil-mobilan setelah mengikatkan seutas benang atau tali pada ujungnya. Atau menjadi peringatan bagi seseorang yang mengidentifikasikan dirinya ke dalam sosok daun kering itu, bahwa sama seperti daun kering itu yang pernah tiada lalu menjadi ada dan berguna bagi makhluk hidup yang bernaung, berteduh dibawah rimbun pohon, mengambil manfaat dari dirinya, suatu saat ia pun akan mengalami fase dimana daun itu telah mengalaminya, yaitu menjadi kering dan terlepas dari akar kehidupannya di satu ranting, untuk kemudian melayang jatuh terhempas angin. Terbenam sebagai humus di bawah permukaan tanah.
Banyak jalan menuju ke Roma. Rasanya sudah lama sekali saya mendengar lalu membacanya, bahkan sudah lama sekali saya mengetahui sumber kalimat itu sampai-sampai saya tidak ingat lagi, sekaligus kehilangan selera untuk mencari tahu kembali asal muasal kalimat itu tersosialisasikan. Seperti banyaknya cara yang dapat kita tempuh untuk sampai ke Roma, banyak juga usaha yang dapat kita jalankan untuk menjadi hamba yang lebih baik lagi di mata-Nya. Salah satunya dengan berintrospeksi diri. Teman saya tadi menemukan jalan itu ketika ia menyadari kekurangmampuannya mengendalikan emosi, sementara saya mendapatkan kesempatan untuk mencari jalan berintrospeksi dari ketidaksengajaan saya, ketika saya meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan cerita seorang teman, walau tidak di agendakan sebelumnya. (Ge’)
Comments
Dear Jamil.
A
D R I E D
L E A F .
::::::::::::::::::::::::::::::
Everything happens with some reasons and then we find its
purposes later.
Your colleague found out the reasons why she had no living mate until now and then she had the awareness that she needed to adopt some more pleasant attitudes in dealing with the people.
One's behaviour is created by her/his own environment.
Your colleague used to show promptly that she is angry when she is feeling angry.
Nothing wrong with that as long as
she has the good reasons and purposes to be angry. A more credits to her if she could be angry in "the nice way" sans
hurting others too much.
She should not be rude and be angry girl all of the time.
Trying to understand the attitudes and behaviours of the other ones, trying to be patient are very important in our everyday life with the people. A lot of time, a prompt talker has not enough time to consider the others' point of views and attitudes.
Sometime someone feel the need to
speak harshly, promptly, boldly and loudly to show that he/she has the "power". A girl could feel this attitude is useful against a
would be rapist.
Most of the time, the real strength in daily human communication is with the one who are full of understanding, wisdom and love.
Our best wishes to your colleague and our congratulations to that
good girl Tasia who could keep herself not to lose her temper and not easy to be upset and angry in facing the people.
Our only hope is that Tasia's cool attitudes come from her deep core heart and not from the necessity to be polite.
In her interactions with people, your colleague felt her need to change her attitude to be more patient,understanding and accomodating with the people.
She is changing like a dried leaf fall down from its branch in the need to be changed with a new fresh
green leaf and to prepare for the coming of the blooming season.
Everyone and everything is changing. We, too.
Love: Orto Delh.
17 December 2005.
Dear Jamil,
A
W H I S P E R
T O
T H E
L I V I N G.
--- A ballad of a dried leaf.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++
This is still on the subject of
A Dried Leaf, Orto Delh wrote you
in the above.
An English proverb says " The fall
of a leaf is a whisper to the
living ".
What is it whispering to the living while it moving aloft up and down in the air?.
It whispers that while it's falling down it still makes some musics to beautify this life,
that the life is moving like it moves down to the ground/soil, and the life is changing like it changes to be green manure or vegetable fertilizer to the other tree or the same tree that have fed it during its life as a part of that tree.
That dried leaf that lays off on the soil mixed with the dusts says that it not sad to be a fallen leaf because it came from the earth and returns to the earth. The Mother Earth is its mother and it is united to its mother now.
It has come home. It is now too busy telling stories to its mother, the earth, how it danced and sang with the winds, how it enjoyed some visits of honey bees and small beautiful butterflies
who came to take some rests on it, how it looked around with awe to the beautiful sceneries of other green and colourful trees and flowers, the blue mountains and the twinkles of the stars.
Its mother, the earth, will hold it tight, absorb it and changes it to be chemicals/minerals while it enrichs itself with chemicals and minerals available in its mother.
Its mother prepares it to be used again as a part of the same tree or different tree/plant.
It must prefers to be part of another tree/plant to enable it to have some new expperiences with them. Possibly it would find itself to be a colourful flower of a tall tree or a decorative bush.
Next time we don't know that that dried leaf is a beautiful flower now. We never know its life has changed but it know it itself. We only know it is dancing, singing with the coming winds, spreading its nice fragnances and it receiving the visits of a lot of honey bees and beautiful butterflies and know that it offers them its pollens and honeys.
The Mother Earth knows and is happy that her child is a flower now and she hears the ectasies, shrieks of her child in receiving new experiences. She is happy since
she knows that she is giving to everything/everyone through her
child.
We, the human beings, also have a big mother like that dried leaf.
As the chemicals/minerals we have to say that Mother Earth is our mother. But as a soul we have not less than A (God) herself as our
"mother" as our place of return.
Exactly we are not returning, we are living in Her because
A is the Omnipotent/Omnipresent
and no space without Her Present.
Everything and everyone is always living in Her because no any place outside Her Present. How could you say that A is the Biggest if you still find a place outside Herself?.
Who is still afraid of anything after knowing that A is her/his
"mother"?. She/he came from A and will return to A the Most Merciful and Commpassionate like
that dried leaf returns to the earth.
Love: OJB.