pagi itu...

   Pagi itu jalanan masih basah oleh guyuran hujan semalam. Satu-dua rintik hujan masih berjatuhan, mendarat lembut di kulit hitam seorang anak lelaki berusia 8 tahun yang mendadak berhenti berjalan. Sedetik saja ia terlambat menghentikan laju langkahnya, saat itu ujung hidungnya pasti sudah akan terantuk ujung gerobak yang berada tepat di depan matanya. 
   Selintas tidak ada yang membedakan dirinya dengan anak-anak lainnya. Tubuhnya sedang, tidak kurus-tidak gemuk, langkahnya cepat, bersemangat, riang sebagaimana anak-anak seusianya beraktivitas. Wajahnya yang kekanakan membuat siswa kelas tiga SD di bilangan Jakarta Selatan itu menyenangkan untuk dipandang.
   Gerobak sampah yang didorongnyalah yang membuatnya sedikit berbeda dengan anak-anak seusianya. Bersama seorang lelaki separuh baya yang dipanggil ”bapak” oleh anak lelaki itu, gerobak yang setengahnya sudah terisi sampah itu didorongnya menyusuri jalan sebelum berbelok ke arah jalan-jalan kecil perumahan di sekitar jalan raya.
   Lampu lalu lintas jalan di perempatan mampang menuju pasar minggu itu masih merah menyala. Anak lelaki itu masih berdiri disamping gerobaknya, sementara bapaknya memperhatikan lampu merah sambil bersiap menarik kembali gerobak di belakang punggungnya.  Sambil beristirahat, si anak menggerak-gerakkan kedua kakinya sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menatap kendaraan yang menyesaki jalan hingga gerobaknya tersisih keluar jalan, terangkat di sebagian badan trotoar. Pandangannya tulus, tanpa rasa kesal membayang, atau sedih atau kesal akan mendungnya pagi dan beceknya jalan yang diperparah dengan banyaknya lobang di jalan, membuat kubangan yang memercikkan air kotor kala ban kendaraan melaju melibasnya. Sesekali ia mengibaskan tangan di depan hidung, ketika asap knalpot kendaraan bermotor mengepul tebal menutupi pandangannya.
   Ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, serentak seluruh kendaraan bermotor yang sejak tadi menunggu dengan tak sabar itu, melaju cepat, meninggalkan kabut hitam tebal-menyesakkan pernafasan di belakang. Roda gerobak sampah kembali berputar, mengikuti kedua pemiliknya, mengumpulkan sampah di perumahan penduduk. Sebelum gerobak itu hilang di tikungan jalan, masih terlihat langkah kaki penuh semangat si anak tadi, mendorong gerobak sampah supaya sang ayah yang berada di depan tidak terlalu berat menariknya.
   Hari masih cukup pagi. Penunjuk waktu yang melingkar di tanganku menunjukkan waktu saat itu belum lagi setengah tujuh pagi. Masih ada waktu untuk menunggu bus yang akan mengantarkan aku ke tempat kerja, dan masih terbuka kesempatan untuk mengubah sudut pandangku akan pagi hari ini. Entah mengapa tiba-tiba ada segumpal semangat menyesaki dada. Dengan pekerjaan yang jauh lebih mudah dari mengumpulkan sampah dari satu rumah ke rumah lain, tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersemangat menyongsong pagi sebagai tanda syukur atas kesempatan hidup hari ini. (Ge’)

Comments

Anonymous said…
semoga anak gue nggak perlu bernasib seperti itu. duh, sekali-sekali bikin tulisan pas lagi seneng knapa. keep on writing :p (romi)
jamil said…
(to romi)

amin. tapi kalo loe maw jadi tukang sampah juga ngga apa. halal kok kerjaannya. pertanyaannya adalah: "emang kuat narik gerobak sampah?" (hehehehe)

Popular Posts