"rapper" sholeh
Namanya Hadi. Umurnya belum lagi lima tahun ketika ia didapati sedang duduk bermenung-menung di sebuah playgroup di bilangan Kalibata Utara, Jakarta Selatan. Hadi memisahkan diri dari teman-temannya yang asik bermain pasir dengan sekop di tangan. Seorang guru yang melihatnya, berjalan mendekat. Hadi tidak bergeming dari posisinya.
“ Hadi lagi ngapain?”
“Memikirkan umat.” Jawabnya pendek.
***
Selang belasan tahun kemudian, Hadi bukan lagi bocah berusia lima tahun. Ia kini sudah menginjak usia 18 dan sejak pertengahan tahun lalu ia telah menjadi mahasiswa universitas negeri di Jogja. Sebagai anak yang baru merasakan hidup berjauhan dari kedua orangtua, tampaknya Hadi bukanlah tipe yang merindukan rumah di awal kepindahannya ke Jogja, ia dengan mudah menyesuaikan diri dengan mencari kesibukan beraktivitas di sana.
Bila kedua orangtuanya rindu padanya, maka merekalah yang akan menjenguk Hadi ke rumah kontrakannya di Jogja, yang dihuninya bersama beberapa orang teman. Meski jarang pulang ke rumah, Hadi cukup sering mengontak keluarganya, terutama Ibu, terlebih saat uang di tabungannya mulai menunjukkan tanda-tanda “kebotakan” alias menipis.
Di buku tahunan SMU nya, Hadi yang gemar berpenampilan ala rapper ini (baca: celana panjang gombrong dengan banyak saku dan rantai yang menjuntai dari salah satunya, ditambah topi yang lebih mirip topi bayi daripada topi anak gunung, menutupi kedua telinga dan nyaris separuh wajahnya) beraksi dengan gaya-gaya khas anak muda jaman sekarang di foto dirinya, gaya yang seringkali saya lihat di majalah-majalah remaja yang beredar di pasaran, fungky dan mengikuti tren masa kini.
Tertarik melihat gayanya yang unik, aku meneruskan melihat-lihat buku tahunan itu. Sesuatu segera menarik perhatian saya ketika membaca biodatanya. Sebagaimana lazimnya sebuah buku tahunan, dalam sana tercantum juga cita-cita dari masing-masing siswa. Hadi menulis menjadi imam masjid Al Aqsha, Palestina sebagai sebuah profesi yang didamba-dambakannya. Subhanallah..
Segera saja ujung-ujung bibir melekuk membentuk senyum kecil. Hadi dan adik terkecilku sudah berteman sejak di playgroup, sehingga sampai saat ini aku pun masih tahu kabar Hadi dan kawan-kawan sepermainannya.
“ Hadi lagi ngapain?”
“Memikirkan umat.” Jawabnya pendek.
***
Selang belasan tahun kemudian, Hadi bukan lagi bocah berusia lima tahun. Ia kini sudah menginjak usia 18 dan sejak pertengahan tahun lalu ia telah menjadi mahasiswa universitas negeri di Jogja. Sebagai anak yang baru merasakan hidup berjauhan dari kedua orangtua, tampaknya Hadi bukanlah tipe yang merindukan rumah di awal kepindahannya ke Jogja, ia dengan mudah menyesuaikan diri dengan mencari kesibukan beraktivitas di sana.
Bila kedua orangtuanya rindu padanya, maka merekalah yang akan menjenguk Hadi ke rumah kontrakannya di Jogja, yang dihuninya bersama beberapa orang teman. Meski jarang pulang ke rumah, Hadi cukup sering mengontak keluarganya, terutama Ibu, terlebih saat uang di tabungannya mulai menunjukkan tanda-tanda “kebotakan” alias menipis.
Di buku tahunan SMU nya, Hadi yang gemar berpenampilan ala rapper ini (baca: celana panjang gombrong dengan banyak saku dan rantai yang menjuntai dari salah satunya, ditambah topi yang lebih mirip topi bayi daripada topi anak gunung, menutupi kedua telinga dan nyaris separuh wajahnya) beraksi dengan gaya-gaya khas anak muda jaman sekarang di foto dirinya, gaya yang seringkali saya lihat di majalah-majalah remaja yang beredar di pasaran, fungky dan mengikuti tren masa kini.
Tertarik melihat gayanya yang unik, aku meneruskan melihat-lihat buku tahunan itu. Sesuatu segera menarik perhatian saya ketika membaca biodatanya. Sebagaimana lazimnya sebuah buku tahunan, dalam sana tercantum juga cita-cita dari masing-masing siswa. Hadi menulis menjadi imam masjid Al Aqsha, Palestina sebagai sebuah profesi yang didamba-dambakannya. Subhanallah..
Segera saja ujung-ujung bibir melekuk membentuk senyum kecil. Hadi dan adik terkecilku sudah berteman sejak di playgroup, sehingga sampai saat ini aku pun masih tahu kabar Hadi dan kawan-kawan sepermainannya.
Dari obrolan adikku dan teman-temannya, aku bisa tahu kalau diantara topik yang menjadi bahan perbincangan mereka, terselip juga topik-topik yang tidak berbeda jauh dari topik hangat diantara anak muda belakangan ini. Apa buku terbaru karangan si anu, film terlaris versi ini awards dan itu awards, dan masih banyak lagi deretan topik obrolan yang umum bagi remaja tanggung seperti mereka, menambah sesak aktivitas mereka yang sudah sangat banyak itu.
Yang membedakan Hadi dan teman-temannya dengan remaja lainnya adalah kepedulian yang dalam terhadap permasalahan umat Islam, baik didalam maupun luar negeri. 90% dari motto-motto hidup di buku tahunan SMUIT di pinggiran Jakarta itu berwarna Islami, dan mungkin tidak lazim sebagai motto remaja kebanyakan, seperti menjadi hamba yang diridhoi Allah Swt., dan masih banyak lagi motto hidup yang menyiratkan dalamnya keterikatan si murid kepada nilai-nilai Islam.
Satu pertanyaan timbul begitu saja. Bagaimana remaja tanggung seperti mereka bisa begitu dalam kecintaannya kepada Islam? Mengapa Hadi yang kesehariannya tidak jauh berbeda dari anak kebanyakan, memiliki cita-cita yang tidak populer di kalangan anak-anak remaja ibukota?
Pertanyaan itu akhirnya sedikti banyak terjawab ketika ”perjalanan” usianya dirunut kembali. Hadi yang tumbuh besar dalam keluarga yang taat beragama, mendapat pendidikan islami bahkan sejak sebelum dilahirkan.
Pertanyaan itu akhirnya sedikti banyak terjawab ketika ”perjalanan” usianya dirunut kembali. Hadi yang tumbuh besar dalam keluarga yang taat beragama, mendapat pendidikan islami bahkan sejak sebelum dilahirkan.
Ketika masih dirahim ibundanya pun, Hadi telah ”dididik” untuk terbiasa dengan rutinitas ibadah yang dijalankan sang ibu, termasuk ”mendengarkan” ayat-ayat Alquran yang dilantunkan orangtuanya setiap hari. Ketika Hadi sudah dirasa perlu bersosialisasi dengan rekan sebayanya, maka ia dimasukkan ke taman bermain sebagai persiapan masuk sekolah dasar.
Sejak itu, pendidikan nilai-nilai Islam yang didapat Hadi semakin intensif mengiringi semakin luasnya pengetahuan yang dimilikinya seputar Islam. Maka tidak mengherankan jika Hadi melewati fase remajanya dengan kualitas pemahaman agama yang cenderung lebih baik dibanding dengan remaja lain seusianya.
Ketika anak-anak lain disibukkan dengan bermain counter strike, misalnya, Hadi juga sibuk bermain counter strike sepulang dari menghafal quran di sekolahnya, ketika teman-temannya ramai-ramai membahas film peraih oscar 2004 terbanyak, Lord of The Rings, Hadi pun ikut menganalisa kelebihan film yang membuahkan banyak penghargaan itu, dengan komentar, “Pemeran utamanya juga bagus aktingnya, sayang dia yahudi..” terimbas keprihatinannya pada rakyat Palestina yang terzalimi oleh zionis yahudi.
Sebegitu besarnya pengaruh peneladanan dalam diri seseorang. Segala hal yang mengisi aktivitas fisik dan pemikiran Hadi sebagai remaja baru gede ini tidak lepas dari peneladan dari kedua orangtuanya, guru-gurunya, dari tokoh-tokoh yang diceritakan mereka.
Ketika anak-anak lain disibukkan dengan bermain counter strike, misalnya, Hadi juga sibuk bermain counter strike sepulang dari menghafal quran di sekolahnya, ketika teman-temannya ramai-ramai membahas film peraih oscar 2004 terbanyak, Lord of The Rings, Hadi pun ikut menganalisa kelebihan film yang membuahkan banyak penghargaan itu, dengan komentar, “Pemeran utamanya juga bagus aktingnya, sayang dia yahudi..” terimbas keprihatinannya pada rakyat Palestina yang terzalimi oleh zionis yahudi.
Sebegitu besarnya pengaruh peneladanan dalam diri seseorang. Segala hal yang mengisi aktivitas fisik dan pemikiran Hadi sebagai remaja baru gede ini tidak lepas dari peneladan dari kedua orangtuanya, guru-gurunya, dari tokoh-tokoh yang diceritakan mereka.
Sadar atau tidak, dari lingkungan yang sedemikian kondusif terhadap bertambahnya pemahaman Islam di dirinya itulah, menghadirkan sosok-sosok yang membentuk Hadi hingga hari ini.
Perlahan pengaruh itu membangun kerangka berpikir dan bersikap pada diri Hadi. Dengan pengalamannya sejak kecil, maka ia cenderung memilih bacaan, teman, kegiatan, dan info-info yang sesuai dengan minatnya.
Perlahan pengaruh itu membangun kerangka berpikir dan bersikap pada diri Hadi. Dengan pengalamannya sejak kecil, maka ia cenderung memilih bacaan, teman, kegiatan, dan info-info yang sesuai dengan minatnya.
Ketika ia membuka diri pada hal-hal di luar bingkai berpikirnya pun, ia bisa mengambil manfaat darinya tanpa kehilangan identitasnya sebagai Muslim. Kalau saja ia bisa terus terikat dengan nilai-nilai Islam sambil tetap menjadi remaja yang broadminded, barangkali ia bisa menjadi Muslim dewasa yang kokoh keislamannya sekaligus bijak menyikapi perbedaan. (Ge’)
Comments
setuju ge'?
(pesen buat ge', dan vita, dari vita.)
semoga aku ingat itu
selalu
kalau berilmu
maka kita berizzah
bila kita berizzah
maka kita berkarakter
ketika kita berkarakter
maka kita melihat perbedaan
saat kita melihat perbedaan
semoga kita menerimanya dengan positif
*luv u deh, vit*
nggak suara, nggak tulisan... ampun deh...
sumpah gue males bacanya,pusing hehehehe...
btw umur loe dah 27 ye??? tuir amat huehehehehe....
< bayu montok>
thanx yah udah dateng
(meski banyakan ngomel bin nyela nya)
tapi ngga apa
itu menandakan loe mratiin guwe
huahahaha..
*tertawa senang sekali*
Dear Jamil.
M O R E
H A D I S .
.................................
We would be happier if we could find more boys and girls with Hadi's qualities around.
And we would be more happier if
they have education/training
backgrounds in engineering etc. to do the specialists jobs.
They should be ready to be technicians/technologists and not only have a dream to have a job with the government and do some
adminiistrative jobs and want to be a small boss as soon as possible.
After experiencing some years in their specialized jobs and have
proved to be able to do good works in their specialization fields they could have a dream to be a manager or a generalist.
It is already out of date to be a manager or generalist without training/backgrounds in any specialization.
Do we have enough of them?.
Love: Orto Delh.