waduh! bukan itu maksud saya..

   Kawan saya bercerita sambil tertawa-tawa. Ia teringat masa mudanya, ketika ia masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas di bilangan selatan Jakarta. Seperti anak-anak remaja lain ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermacam kegiatan.
   Di luar waktunya untuk sekolah, ia juga aktif di kerohanian sekolah, pramuka, dan beberapa kegiatan lain, termasuk kursus menghafal qur’an dan waktu untuk berkumpul dengan teman-teman dekatnya. Banyaknya kegiatan yang diikuti membuatnya bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter. Cocok atau tidak cocok dengannya. Ia tidak bisa memilih.
   Sepulang sekolah, kawan saya sedang berjalan bersama beberapa orang temannya. Ketika melewati tumpukan sampah di depan rumah warga dekat sekolahnya, kawan saya yang kala itu umurnya tidak lebih dari tiga belas tahun, spontan menutup hidung sambil membuang muka, menghindari sumber bau busuk dari tumpukan sampah yang dilewatinya. “Uh! Baukk, ihhh!!”, katanya.
   Peristiwa itu berlalu begitu saja sebagai slice of life yang biasa ditemuinya setiap hari. Ia tidak pernah sedikit pun memikirkan peristiwa itu. Pikirannya sudah dipenuhi dengan urusan lain yang saat itu dianggapnya jauh lebih penting seperti persiapan ulangan, jadwal latihan pramuka, dan lainnya.
   Setelah meminum seteguk air dari gelas di tangannya, kawan saya meneruskan ceritanya. Beberapa hari kemudian ternyata ia baru menyadari bahwa salah seorang teman bermainnya menjaga jarak dengannya. Ia lebih terkejut lagi ketika mengetahui temannya itu sudah beberapa hari menjauhinya karena tersinggung, dengan sumber masalah reaksinya saat melewati sampah yang menggunung itu.
   Ternyata, dalam perjalanan pulang saat itu, tanpa disadarinya, ia berpapasan dengan seorang teman lain, yang sedang berjalan sendirian ke arah yang berlawanan. Ia tidak menyadari kehadiran temannya itu di arah berlawanan karena sedang serius berbincang dengan rombongannya.
   Ketika dikonfirmasi langsung, salah seorang temannya yang menjaga jarak itu merasa tidak dipedulikan, bahkan merasa terhina karena saat itu kawan saya tidak menyapa dan membuang muka, lengkap dengan aksi menutup hidung dan komentar “baukk ihhh!!” tersebut.
   Kawan saya segera meluruskan masalah. Ia menceritakan semua yang sebenarnya terjadi. Apa adanya. Bahwa ia sungguh tidak melihat keberadaan temannya itu di dekatnya, dan bahwa ia menutup hidung karena menghindari bau busuk sampah. Ia pun tak lupa meminta maaf atas ketidaksengajaannya menyinggung perasaan temannya itu. Hasilnya? Temannya pun tersenyum kembali sambil ikut meminta maaf, sambil mengatakan bahwa seharusnya ia tidak perlu sesensitif itu, bila ia mampu berhusnudzan.
   Cerita kawan saya di atas hanya satu dari beribu bahkan berjuta kesalahpahaman yang pernah terjadi di kehidupan sehari-hari. Hampir setiap waktu kita membutuhkan orang lain, dan dari interaksi itulah kerapkali timbul salah paham-salah paham yang menjadi kerikil dalam komunikasi.
   Hampir setiap hari kita melakukan kesalahan. Baik yang disadari maupun tidak. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk melakukan taubat setiap hari. Bukan sekadar bila melakukan kesalahan saja.
   Kita tidak selalu menyadari apakah kata-kata yang terucap melukai perasaan seseorang atau tidak. Sikap kita membuat orang lain tersinggung atau tidak. Dan hal-hal lain yang kita lakukan selama berinteraksi dengan orang lain.
   Seperti juga kita tidak mengetahui maksud seseorang ketika perkataannya atau tingkahnya menyisakan perasaan tidak nyaman bagi kita. Entah sedih, senang, malu, atau marah. Lawan komunikasi kita di segala aktivitas yang kita lakukan tidak pula memahami tiap tutur dan tindakan kita yang kita sengaja maupun yang tidak kita sadari terjadinya.
   Karena setiap saat kita dapat menjadi orang yang melukai atau dilukai atau keduanya dalam waktu yang bersamaan setiap saat, maka kita amat perlu memelihara dan memupuk kemampuan untuk berbaik sangka, berlapang dada, berani mencegah prasangka buruk dengan berani bertanya duduk permasalahan, dan yang paling akhir adalah berani meminta maaf atau memaafkan bila kita memang salah atau orang lain meminta maaf.  (Ge’) 
  
 

Comments

Anonymous said…
Delhi, Sunday evening, 11 Dec.05.

Dear Jamil.

A G O O D S P I R I T .
:::::::::::::::::::::::::::::

The daily communication problems you wrote in the above.You related
the problems of chosing the words,
, the space, body language, then
the problems of decoding and under-
standing in our daily social inter-action with other human beings.

In your last paragraph ... on the need of a good spirit in close human daily communication: the ability to keep our good will, understanding, ready to give forgiveness etc.

We could add here eventhough it would be heard as the cliched words: our love to other human being. We could love someone for the sake of just to love sans expecting any return.

In any way we need the imperative mood to be able to do a good two ways of communication. The essential things are among the others: no prejudice, deep understanding, and have a fresh mind/feelings/body so when we are not feeling good it will be better not to say any negative statement and to judge.

Easy to write every thing as in the above, to apply or practice them is another problem. We need
a lot of exercises to practice them.

Love,

Orto Delh.

Popular Posts