Mas Aji

Rasanya, baru kemarin ini ulang tahun yang keempat tahun. Bangun pagi.. mandi.. (saat-saat menyiksa. Badan selalu menggigil kedinginan setelahnya..) diberi ucapan selamat dan hadiah oleh orangtua sebelum keduanya berangkat bekerja di pasar.

Baru kemarin pula rasanya linglung —tak mengerti—ketika harus menjadi yatim-piatu di usia belum lagi 10 tahun. Tidak tahu harus berbuat apa selain mengikuti kakak semata wayang. Dua saudara lainnya turut meninggal dunia dalam kecelakaan itu. Colt bapak tertabrak truk bermuatan penuh. Melebihi kapasitas muatan yang seharusnya.

“Pak, Yu Nani mau datang sore ini...,”
“Bareng sama Bule Tik, Nduk?”
“Iya, pak...,”

Waktu itu, Mas Aji baru lulus Sekolah Pendidikan Guru. Belum lagi mendapat pekerjaan sebagai guru. Mas Aji bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan adik-adiknya. Ia sempat mengajar privat murid-murid SD di dekat rumah —anak-anak orang berpunya.

Kadang Mas Aji juga bekerja paruh waktu di bengkel dekat rumah. Mencuci mobil atau motor. Tak jarang ia juga ikut menjaga parkiran motor di alun-alun.

“Mas, jadi jemput Mas Aji di Bandara? Abis Jumatan loh, Mas…,”
“O iya, ya.. ya.. jadi...,”

Namun begitu semangat Mas Aji untuk terus maju tidak pernah luntur. Masih sama seperti saat Bapak dan Ibu masih hidup. Mas Aji terus berusaha meneruskan pendidikannya. Sedikit demi sedikit uang yang di dapatnya dari bekerja serabutan, dikumpulkan. Mas Aji melanjutkan pendidikannya di sela-sela kesibukannya bekerja.

“Pak, Pade Aji telpon, kata Pade ngga usah dijemput...,”
“Nggak, lah..., kita tetep jemput saja...,”
“Wong Pade sudah dalam perjalanan...,”
“Ini kan baru jam setengah satu, le...,”
“Ngga ngerti aku, Pak...,”

Mas Aji berdiri di depan mata. Masih seperti dulu. Tegap, sehat, dengan sepasang mata yang selalu penuh binar optimis. “Semoga Aku bisa kembali ke sana..., rasanya kerinduan untuk berhaji justeru semakin kuat...,” ucapnya. Lirih.

Selamat datang, Mas...

(Ge’)

Comments

Popular Posts