Mpok Ku Jutek!
Mpok Ku Jutek
Tulisan di atas terlihat di belakang metromini merah yang melintas di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Begitu tulisan itu tersapu pandangan, saya sontak memperhatikan bagian belakang metromini itu sambil tersenyum simpul.
Karena terlambat kuliah, saya harus kuliah bersama-sama dengan orang-orang yang usianya jauh lebih muda dari saya. Bagi sebagian teman-teman, saya adalah “Mpok” atau kakak perempuan mereka. Dan banyak juga dari mereka yang berterus terang menjuluki saya “Jutek” atau berair muka tidak ramah.
Menurut mereka, disadari atau tidak, saya sering bermuka jutek dikeseharian. Padahal saya sendiri tidak pernah berniat mempertontonkan muka jutek seperti itu kepada orang-orang di sekitar saya, terlebih ke teman-teman saya.
Termasuk jenis manusia pelupa, saya memang kerap kali tidak ingat bahwa muka saya yang dari sononya tidak ramah ini sering mendatangkan prasangka negatif pada diri orang lain, baik yang telah mengenal atau (apalagi) tidak mengenal saya. Saya pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. “Memang wajah saya begini, kok..” pikir saya.
Tapi pemikiran itu berubah di suatu hari. Di suatu siang sekitar delapan tahun lalu. Saya naik angkot kecil di sekitar Depok. Duduk di muka pintu angkot biru kecil itu seorang gadis —anak kuliahan. Wajahnya manis. Kalau saja ia tidak memasang tampang masam sepanjang perjalanan. Berkali-kali saya melirik ke arahnya. Mencuri-curi pandang. Memperhatikan wajah manisnya yang tertekuk tanpa senyum seulaspun.
Siang itu terik. Seluruh penumpang duduk dengan gelisah. Sebagian mengipasi diri dengan peralatan seadanya yang mereka bawa; buku catatan, kertas, lipatan koran, ujung kain penggendong bayi, bahkan tas tangan. Dan wajah masam si gadis —yang sebenarnya—manis itu membuat udara semakin terasa tidak bersahabat. Panas dan sumuk’ membuat keringat tidak segera mengering lengket di kulit. Mengurangi indahnya hari, terlebih jika mata ini tidak sengaja tertumbuk pada wajah masam di depan pintu angkot.
Kejadian itu membuat saya berpikir, bahwa satu wajah masam saja bisa mengubah suasana hati atau memperkeruh ketidaknyaman situasi seperti yang saya alami beberapa tahun lalu. Seperti juga kepenatan saya sepulang ngantor seketika hilang ketika sebentuk wajah mungil lengkap dengan sepasang mata cantik yang berbinar tulus menyapa saya di sebuah bis kota yang penuh sesak. “Baaa..!” kata si gadis kecil itu ramah. Dan saya pun merasa segar dan semangat kembali meneruskan aktivitas saya di sisa hari.
Sejak saat itu, saya selalu berusaha menambahkan senyum atau sekadar memenuhi kepala dengan pikiran positif di pagi hari, agar air muka saya yang bakat jutek ini menjadi mendingan untuk terlihat. Karena sepertinya tidak hanya si pemilik wajah yang akan lebih merasa semangat memulai hari, namun juga orang lain di sekitar, termasuk orang-orang yang sekadar berpapasan dijalan atau di tempat-tempat umum.
Bila seseorang memutuskan untuk tidak mempedulikan seperti apa wajah yang dibawanya bersosial, mungkin saja sebagian pendapat mengatakan itu adalah haknya sebagai individu. Terlebih jika ia memang tidak bermaksud untuk menambah hubungan sosialnya diluar yang sudah dimilikinya saat ini.
Namun kadang saya suka berpikir dengan sok tahunya, bahwa sesungguhnya wajah kita ini adalah bukan milik kita pribadi. Kecuali kita bersedia menggunakan helm sepanjang hari —membatasi wajah kita hanya untuk komunitas internal dengan label bukan konsumsi umum, kita perlu sering-sering mengingatkan diri sendiri bahwa kita adalah bagian dari kehidupan sosial yang ada. Masyarakat di sekitar termasuk individu-individu yang termasuk di dalamnya, adalah orang-orang yang —mau-tidak mau; disukai-atau tidak; bergantung dari wajah kita dikeseharian.
Seperti beberapa waktu lalu. Saat saya bepergian keluar kota menggunakan kereta api. Bangku yang berhadap-hadapan dengan sedikit saja jarak diantaranya di kelas ekonomi, membuat saya tidak mungkin memiliki ruang dan waktu untuk tenggelam dalam kesendirian. Seingin apapun saya untuk tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Dihadapan saya duduk sepasang lelaki. Seorang bapak dan anak muda yang tampaknya adalah anak si bapak itu. Ketika pertama kali saya tiba di tempat duduk dan mulai membereskan letak barang bawaan, mencari posisi duduk yang ternyaman yang saya bisa dapatkan di kereta api kelas ekonomi, mereka tampak tidak peduli dengan kehadiran saya. Asyik dengan rokoknya masing-masing.
30 menit pertama saya habiskan waktu untuk menikmati perjalanan sambil bercakap-cakap dengan teman saya satu kampus yang menemani saya berpergian kali itu. Kami bicara tanpa mempedulikan sekitar. Berusaha tidak peduli tepatnya. Karena jarak yang begitu dekat membuat kami hampir tidak mungkin tidak saling melihat dengan penumpang di bangku depan.
Hingga pada suatu ketika saya melihat sekilas pada mereka. Saya merasa ada yang berubah pada air muka mereka. Meski tidak tahu pasti karena saya tidak berusaha memperhatikan lebih lanjut. Tapi akhirnya saya menyadari bahwa kini wajah mereka telah menjelma menjadi wajah-wajah ramah yang sangat humanis.
Sepertinya, pembicaraan ringan dan penuh canda dengan teman perjalanan saya, telah membuat wajah saya yang amat berpeluang untuk mematahkan semangat hidup orang yang melihat akibat terlalu juteknya, menjadi sedikit bersahabat untuk dilihat. Sehingga mereka pun menjadi tidak segan untuk menawarkan saya minum dan makan. Meski sekadar untuk berbasa-basi.
Sebaliknya, saya dan teman pun menjadi merasa nyaman dan aman di kereta ekonomi yang sebenarnya jauh dari nyaman. Kami merasa memiliki barengan —sesama penumpang kereta api kelas ekonomi, yang baik. Selama perjalanan selama berjam-jam kami duduk berhadap-hadapan. Dan selama itu pula timbul komunikasi yang berawal dari keinginan untuk memperlakukan orang lain dengan baik.
Ketika saya berusaha menghalau asap rokok mereka dengan tidak kentara, Saat mereka akhirnya bergantian beranjak pergi ke sambungan kereta untuk merokok disana agar tidak memenuhi muka kami dengan asap rokok. Pada waktu kami makan nasi bungkus seharga 2 ribu rupiah dan berbasa-basi menawari mereka padahal nasi dalam bungkusan itu pun tidak mengenyangkan untuk dimakan seorang diri sekalipun.
Sapaan ramah mereka menawarkan makanan bertepatan dengan dibukanya timbel berbungkus daun yang mereka bawa dari rumah (dan saya sebenarnya ngiler melihat timbel itu). Dan masih banyak komunikasi-komunikasi sederhana lainnya sepanjang perjalanan itu. Komunikasi yang tidak selalu di ucapkan dengan kata-kata, namun pastinya dapat dimengerti oleh semua orang. Karena didasari oleh keinginan memperlakukan orang lain dengan baik.
Sesampainya ditempat tujuan, kami yang turun lebih dulu dari mereka pun berpamitan. Saya mengatakan pada teman saya, bahwa saya sungguh masih saja merasa takjub pada efektifnya komunikasi universal. Yaitu komunikasi yang didasari oleh hal-hal dasar yang berlaku dan dipahami oleh seluruh orang di dunia. Yaitu komunikasi dengan dasar kebaikan dan keinginan untuk berbuat baik.
Menyuguhkan wajah yang baik dan ramah juga merupakan usaha yang tergantung dari niat dan keinginan kita berbuat baik. Dan sampai hari ini saya masih jatuh-bangun berusaha untuk terus-menerus mengingat-ingat apakah air muka saya saat ini menyeramkan untuk dilihat atau tidak; apakah wajah saya tertekuk atau mungkin berlipat-lipat hingga membuat orang lain hilang keberanian untuk menyapa.
“Saya sebelumnya ragu untuk bertanya pada mbak, karena pengalaman saya mengatakan umumnya perempuan berjilbab itu tidak suka ditanya-tanya,” kata seorang laki-laki muda dengan logat Jawa kental. Setelah sebelumnya mengucapkan rasa terimakasihnya karena saya telah menjelaskan rute bis yang kami tumpangi kepadanya.
Jujur saja, sebelum menjawab pertanyaan laki-laki itu saya menyempatkan diri menimbang-nimbang, Apakah saya akan menjawab pertanyaan atau tidak; apakah jawaban pendek saja yang akan saya jelaskan atau tidak; atau penjelasan rinci yang akan menuntaskan keingintahuannya.
Tapi, segera setelah saya memutuskan untuk menjawab pertanyaannya, saya menyadari bahwa laki-laki itu sungguh-sungguh ingin bertanya. Ada kebingungan dalam nada suaranya. Dan ketika saya tahu bahwa ia pun sempat bimbang untuk bertanya pada atau tidak, saya menjadi sedikit merasa bersalah. Sepertinya air muka jutek yang saya miliki ini semakin memperkuat dugaannya bahwa muslimah berjilbab itu tidak ramah bahkan tidak bersedia menjawab pertanyaan.
Memang benar bahwa seseorang seharusnya punya banyak persediaan husnudzan untuk kita, termasuk saya yang punya cetakan muka jutek. Tetapi sebelum kita mengharapkan pengertian dari orang lain, barangkali kita perlu berbuat baik terlebih dahulu, dengan memberikan ‘penampakan’ wajah yang ramah da menyenangkan bagi orang lain.
Buat saya, paling tidak supaya teman-teman tidak perlu berteriak lagi kepada saya:
“Oi...! jutek bener tuh, muka!!”
(Ge')
Tulisan di atas terlihat di belakang metromini merah yang melintas di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Begitu tulisan itu tersapu pandangan, saya sontak memperhatikan bagian belakang metromini itu sambil tersenyum simpul.
Karena terlambat kuliah, saya harus kuliah bersama-sama dengan orang-orang yang usianya jauh lebih muda dari saya. Bagi sebagian teman-teman, saya adalah “Mpok” atau kakak perempuan mereka. Dan banyak juga dari mereka yang berterus terang menjuluki saya “Jutek” atau berair muka tidak ramah.
Menurut mereka, disadari atau tidak, saya sering bermuka jutek dikeseharian. Padahal saya sendiri tidak pernah berniat mempertontonkan muka jutek seperti itu kepada orang-orang di sekitar saya, terlebih ke teman-teman saya.
Termasuk jenis manusia pelupa, saya memang kerap kali tidak ingat bahwa muka saya yang dari sononya tidak ramah ini sering mendatangkan prasangka negatif pada diri orang lain, baik yang telah mengenal atau (apalagi) tidak mengenal saya. Saya pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. “Memang wajah saya begini, kok..” pikir saya.
Tapi pemikiran itu berubah di suatu hari. Di suatu siang sekitar delapan tahun lalu. Saya naik angkot kecil di sekitar Depok. Duduk di muka pintu angkot biru kecil itu seorang gadis —anak kuliahan. Wajahnya manis. Kalau saja ia tidak memasang tampang masam sepanjang perjalanan. Berkali-kali saya melirik ke arahnya. Mencuri-curi pandang. Memperhatikan wajah manisnya yang tertekuk tanpa senyum seulaspun.
Siang itu terik. Seluruh penumpang duduk dengan gelisah. Sebagian mengipasi diri dengan peralatan seadanya yang mereka bawa; buku catatan, kertas, lipatan koran, ujung kain penggendong bayi, bahkan tas tangan. Dan wajah masam si gadis —yang sebenarnya—manis itu membuat udara semakin terasa tidak bersahabat. Panas dan sumuk’ membuat keringat tidak segera mengering lengket di kulit. Mengurangi indahnya hari, terlebih jika mata ini tidak sengaja tertumbuk pada wajah masam di depan pintu angkot.
Kejadian itu membuat saya berpikir, bahwa satu wajah masam saja bisa mengubah suasana hati atau memperkeruh ketidaknyaman situasi seperti yang saya alami beberapa tahun lalu. Seperti juga kepenatan saya sepulang ngantor seketika hilang ketika sebentuk wajah mungil lengkap dengan sepasang mata cantik yang berbinar tulus menyapa saya di sebuah bis kota yang penuh sesak. “Baaa..!” kata si gadis kecil itu ramah. Dan saya pun merasa segar dan semangat kembali meneruskan aktivitas saya di sisa hari.
Sejak saat itu, saya selalu berusaha menambahkan senyum atau sekadar memenuhi kepala dengan pikiran positif di pagi hari, agar air muka saya yang bakat jutek ini menjadi mendingan untuk terlihat. Karena sepertinya tidak hanya si pemilik wajah yang akan lebih merasa semangat memulai hari, namun juga orang lain di sekitar, termasuk orang-orang yang sekadar berpapasan dijalan atau di tempat-tempat umum.
Bila seseorang memutuskan untuk tidak mempedulikan seperti apa wajah yang dibawanya bersosial, mungkin saja sebagian pendapat mengatakan itu adalah haknya sebagai individu. Terlebih jika ia memang tidak bermaksud untuk menambah hubungan sosialnya diluar yang sudah dimilikinya saat ini.
Namun kadang saya suka berpikir dengan sok tahunya, bahwa sesungguhnya wajah kita ini adalah bukan milik kita pribadi. Kecuali kita bersedia menggunakan helm sepanjang hari —membatasi wajah kita hanya untuk komunitas internal dengan label bukan konsumsi umum, kita perlu sering-sering mengingatkan diri sendiri bahwa kita adalah bagian dari kehidupan sosial yang ada. Masyarakat di sekitar termasuk individu-individu yang termasuk di dalamnya, adalah orang-orang yang —mau-tidak mau; disukai-atau tidak; bergantung dari wajah kita dikeseharian.
Seperti beberapa waktu lalu. Saat saya bepergian keluar kota menggunakan kereta api. Bangku yang berhadap-hadapan dengan sedikit saja jarak diantaranya di kelas ekonomi, membuat saya tidak mungkin memiliki ruang dan waktu untuk tenggelam dalam kesendirian. Seingin apapun saya untuk tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Dihadapan saya duduk sepasang lelaki. Seorang bapak dan anak muda yang tampaknya adalah anak si bapak itu. Ketika pertama kali saya tiba di tempat duduk dan mulai membereskan letak barang bawaan, mencari posisi duduk yang ternyaman yang saya bisa dapatkan di kereta api kelas ekonomi, mereka tampak tidak peduli dengan kehadiran saya. Asyik dengan rokoknya masing-masing.
30 menit pertama saya habiskan waktu untuk menikmati perjalanan sambil bercakap-cakap dengan teman saya satu kampus yang menemani saya berpergian kali itu. Kami bicara tanpa mempedulikan sekitar. Berusaha tidak peduli tepatnya. Karena jarak yang begitu dekat membuat kami hampir tidak mungkin tidak saling melihat dengan penumpang di bangku depan.
Hingga pada suatu ketika saya melihat sekilas pada mereka. Saya merasa ada yang berubah pada air muka mereka. Meski tidak tahu pasti karena saya tidak berusaha memperhatikan lebih lanjut. Tapi akhirnya saya menyadari bahwa kini wajah mereka telah menjelma menjadi wajah-wajah ramah yang sangat humanis.
Sepertinya, pembicaraan ringan dan penuh canda dengan teman perjalanan saya, telah membuat wajah saya yang amat berpeluang untuk mematahkan semangat hidup orang yang melihat akibat terlalu juteknya, menjadi sedikit bersahabat untuk dilihat. Sehingga mereka pun menjadi tidak segan untuk menawarkan saya minum dan makan. Meski sekadar untuk berbasa-basi.
Sebaliknya, saya dan teman pun menjadi merasa nyaman dan aman di kereta ekonomi yang sebenarnya jauh dari nyaman. Kami merasa memiliki barengan —sesama penumpang kereta api kelas ekonomi, yang baik. Selama perjalanan selama berjam-jam kami duduk berhadap-hadapan. Dan selama itu pula timbul komunikasi yang berawal dari keinginan untuk memperlakukan orang lain dengan baik.
Ketika saya berusaha menghalau asap rokok mereka dengan tidak kentara, Saat mereka akhirnya bergantian beranjak pergi ke sambungan kereta untuk merokok disana agar tidak memenuhi muka kami dengan asap rokok. Pada waktu kami makan nasi bungkus seharga 2 ribu rupiah dan berbasa-basi menawari mereka padahal nasi dalam bungkusan itu pun tidak mengenyangkan untuk dimakan seorang diri sekalipun.
Sapaan ramah mereka menawarkan makanan bertepatan dengan dibukanya timbel berbungkus daun yang mereka bawa dari rumah (dan saya sebenarnya ngiler melihat timbel itu). Dan masih banyak komunikasi-komunikasi sederhana lainnya sepanjang perjalanan itu. Komunikasi yang tidak selalu di ucapkan dengan kata-kata, namun pastinya dapat dimengerti oleh semua orang. Karena didasari oleh keinginan memperlakukan orang lain dengan baik.
Sesampainya ditempat tujuan, kami yang turun lebih dulu dari mereka pun berpamitan. Saya mengatakan pada teman saya, bahwa saya sungguh masih saja merasa takjub pada efektifnya komunikasi universal. Yaitu komunikasi yang didasari oleh hal-hal dasar yang berlaku dan dipahami oleh seluruh orang di dunia. Yaitu komunikasi dengan dasar kebaikan dan keinginan untuk berbuat baik.
Menyuguhkan wajah yang baik dan ramah juga merupakan usaha yang tergantung dari niat dan keinginan kita berbuat baik. Dan sampai hari ini saya masih jatuh-bangun berusaha untuk terus-menerus mengingat-ingat apakah air muka saya saat ini menyeramkan untuk dilihat atau tidak; apakah wajah saya tertekuk atau mungkin berlipat-lipat hingga membuat orang lain hilang keberanian untuk menyapa.
“Saya sebelumnya ragu untuk bertanya pada mbak, karena pengalaman saya mengatakan umumnya perempuan berjilbab itu tidak suka ditanya-tanya,” kata seorang laki-laki muda dengan logat Jawa kental. Setelah sebelumnya mengucapkan rasa terimakasihnya karena saya telah menjelaskan rute bis yang kami tumpangi kepadanya.
Jujur saja, sebelum menjawab pertanyaan laki-laki itu saya menyempatkan diri menimbang-nimbang, Apakah saya akan menjawab pertanyaan atau tidak; apakah jawaban pendek saja yang akan saya jelaskan atau tidak; atau penjelasan rinci yang akan menuntaskan keingintahuannya.
Tapi, segera setelah saya memutuskan untuk menjawab pertanyaannya, saya menyadari bahwa laki-laki itu sungguh-sungguh ingin bertanya. Ada kebingungan dalam nada suaranya. Dan ketika saya tahu bahwa ia pun sempat bimbang untuk bertanya pada atau tidak, saya menjadi sedikit merasa bersalah. Sepertinya air muka jutek yang saya miliki ini semakin memperkuat dugaannya bahwa muslimah berjilbab itu tidak ramah bahkan tidak bersedia menjawab pertanyaan.
Memang benar bahwa seseorang seharusnya punya banyak persediaan husnudzan untuk kita, termasuk saya yang punya cetakan muka jutek. Tetapi sebelum kita mengharapkan pengertian dari orang lain, barangkali kita perlu berbuat baik terlebih dahulu, dengan memberikan ‘penampakan’ wajah yang ramah da menyenangkan bagi orang lain.
Buat saya, paling tidak supaya teman-teman tidak perlu berteriak lagi kepada saya:
“Oi...! jutek bener tuh, muka!!”
(Ge')
Comments
sepi amit ya... apa orang2 (termasuk diriku ini) terlalu sibuk dengan aktivitasnya. padahal disini banyak yang menarik lho buat dibaca. (terus, kanapa mesti komen di artikel "jutek" ini???) hihihi.... =) keep on writing ge!!!
terimakasiy mau meninggalkan jejak disini..
iya niy sepi..
abis udah pada sakit hati siy liat niy blog ngga di update update hehehehe
thx 4 ur support, pal! =)