Kerdil

Senja itu di rumah sakit tua di pusat Jakarta.

“Mbak..,”
Sapanya lirih. Pandangnya sayu.
“Tolong tutup jendela ini…,”
Sambungnya. Payah mengangkat lengannya dan jemari lemahnya. Mengacungkan telunjuk kanannya yang bergetar. Menunjuk ke kaca-kaca nako di atas kepalanya.

Ia hanya seorang gadis muda. Usianya tak lebih dari 20 tahun saja. Bertahun-tahun lebih muda dari saya. Kelopak matanya menutup setengah. Mencoba menatap saya, menghantarkan pesannya tidak hanya lewat kata-kata, tapi lewat air muka dan redup binar matanya. Bahwa angina senja itu mulai membuat tubuhnya menggigil.

Bergegas saya bergerak ke arah meja disamping tempat tidurnya. Meraih tungkai jendela nako berkarat tebal. Berusaha menggerakkannya lebih ke atas agar kaca-kaca itu menutup dengan rapat.

Tidak berhasil.

Saya kembali mencoba mendorong tungkai jendela sambil mendorong kaca-kaca nakonya sekaligus. Sambil mengerahkan segala daya.

Nako itu tidak bergerak. Diam. Tak mengacuhkan betapa saya telah bersusah-payah menutupkannya demi si gadis muda yang terbaring lemah di dekatnya sambil menggigil kedinginan.

“Tidak bisa, mbak…, nanti saya panggilkan Bapak itu saja,”
Kata seorang ibu. Menunjuk salah satu Bapak perawat di ruang rawat paska bedah itu.

“Maaf, mbak…, saya tidak kuat menutupnya. Nanti kita panggilkan orang yang kuat menutupnya, ya…,”
Ujar saya pada gadis itu.

Gadis itu hanya diam. Tapi dari matanya ia tersenyum maklum. Juga berterimakasih atas usaha saya untuk memenuhi permintaanya menutup jendela.

Sesungguhnya, sudah sedari tadi saya mencuri-curi memandangnya. Sejak saya memasuki ruang rawat paska bedah ini untuk menjenguk salah seorang sahabat. Ia terbaring tak berdaya, dengan selang infus, dan selang-selang berjarum lainnya. Saling-silang mengitari tubuhnya.

Gadis lemah itu berbaring diam-diam. Karena memang ia tidak mampu banyak bergerak usai operasi yang djalaninya belum lama sebelum saya tiba di ruangan itu. Tanpa seorang pun menungguinya beristirahat. Entah sedang keluar ruangan untuk sholat atau makan. Atau sedang mengurus hal lain demi kesembuhan dirinya.

Sesekali mata kami bertemu. Karena ia sepertinya juga melakukan hal yang sama dengan saya. Mencuri-curi pandang ke arah kami. Saya dan teman-teman yang sedang menjenguk pasien di tempat tidur di sampingnya.

Namun, bila saya jatuh simpati padanya yang lemah dimasa-masa paska operasinya, ia memandang kami, juga saya, dengan tatapan empati akan bahagianya memiliki orang-orang yang dapat kita ajak bicara dikala kesepian melanda.

Tiba-tiba, saya merasa benci terhadap diri sendiri.

Dengan keinginan menyapanya sejak menyadari keberadaannya di sebelah tempat saya berdiri, di awal waktu saya memasuki ruang paska bedah ini, tak jua saya menyapanya. Hingga detik ini.

Saya bahkan tak berani menatapnya. Entah apa jelasnya alasan saya untuk tidak menyapa gadis lemah yang pastinya kesakitan di tengah jarum-jarum berselang itu.
Padahal ia butuh sapaan hangat. Motivasi untuk menghadapi nyeri-nyeri pasca operasi.

Ketika waktu menjenguk sudah hampir habis. Saya menyempatkan diri menoleh ke arah si gadis. Berniat berpamitan pulang. Paling tidak memberinya sebuah senyum terbaik yang saya dapat hadirkan untuknya.

Namun ia tidak melihat saya. matanya yang tertutup rapat tidak menghilangkan kabut lelah yang berkumpul di sudut-sudutnya.

Nampaknya ia telah jatuh tertidur. Dan kaca nako di atas kepalanya. Masih lebar ternganga. Lelap dalam letih. Menahan dingin, sakit dan kesepiannya yang menggigit. Terus. Dan tak henti.

Dan saya pulang dengan rasa malu mengguncang tiap lekuk hati. Rasa bersalah menghentak di relung-relung tersempit sekalipun. Bertanya mengapa saya tidak mampu berbuat kebaikan. Kenapa saya malu berbuat sesuatu yang kiranya dapat mengurangi seserpih nyeri si pesakit.

-Ba’da Maghrib/Merasa kerdil. Berjalan pelan-pelan menjauhi ruang paska bedah/ Maret 2005-

Comments

Irfan Toni H said…
hei, bagus nih!
jamil said…
to Abi Luthfi:

hei, terimakasih dah mampir!
*senyum senang*
jamil said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said…
bagus! tersentuh abis , kadang perasaan peka itu harus dimunculkan juga karena rasa simpati itu bentuknya elektromagnetik yang bisa sampai ke hati sang pasien tersebut, antenanya ya mata itu...senyuman suka disalah artikan tapi tatapan mata 90 % selalu benar. (Tri)
jamil said…
To Abinya Syauqi:

Nuhun tos sudi mampir, euy..
*senyum*

iya yah..
padahal begitu banyak peluang untuk berbuat kebaikan...

tapi
hanya untuk menyapa nya dengan simpatik pun
saya tak bisa

*menyesal sekali*

hiks

....

Popular Posts