Setia

Ternyata setia itu indah. Entah mendapat kesetiaan atau memberikan kesetiaan. Cerita pertama (atau paling tidak yang saat ini saya ingat sebagai cerita pertama) tentang kesetiaan yang begitu membekas di hati saya adalah cerita tentang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.

Sepertinya sebagian besar kita sudah mengetahui kisah itu. Kalau saya tidak salah ingat cerita itu bercerita tentang seekor anjing setiap harinya selalu menunggui tuannya pulang kerja di sebuah setasiun. Ia terus melakukan hal itu setiap hari sepanjang tahun. Hingga akhirnya tuannya itu meninggal dunia sebelum sempat pulang ke rumah. Saya lupa, apakah tuan si anjing itu langsung dimakamkan oleh teman-teman kerjanya atau bagaimana, sehingga si anjing tidak mengetahui tentang ketidakpulangan tuannya.

Si anjing tetap menunggu. Meski tuannya tak kunjung datang.

Cerita itu saya dapatkan ketika saya masih kecil. Saat-saat saya baru mulai belajar membaca dengan mengeja huruf-huruf. Dan ketika ditahun-tahun berikutnya saya menemukan kembali cerita itu diantara bacaan saya yang tidak banyak, saya kembali tersentuh.

Menerima kesetiaan. Dari siapapun dan apapun, umumnya menimbulkan jejak-jejak yang tercetak jelas dalam hati kita. Kesetiaan setidaknya dapat menimbulkan kecintaan. Apapun bentuknya. Bahkan, kesetiaan membuat rasa cinta yang ada menjadi bertambah. Bertumbuh dan berkembang. Berseri dengan caranya tersendiri.

Seperti juga label-label diri yang muncul dari karakter dasar kita, setia termasuk sifat yang dilihat orang lain. Bukan diri kita sendiri yang mengatakan “saya ini setia, lho!”. Meski setia, seseorang kadang tidak terlihat atau tidak terlabeli sebagai orang yang memiliki kesetiaan atas suatu hal.

Kesetian juga tidak berbanding lurus dengan kecintaan yang terwujud dengan kata-kata manis atau perlakuan lemah lembut penuh kasih. Meski alangkah lebih membahagiakan jika kita menerima kesetian dalam bentuk itu. Kesetiaan dalam kecintaan yang membangun. Karena tiap kita punya cara untuk menjalani hari. Mengukir setia. Tergantung juga dari karakter dasar kita. Ada individu yang berusaha setia dengan terus ada dimanapun kita membutuhkannya. Sementara yang lain hanya memandang di kejauhan, membiarkan kita bertumbuh dengan apa adanya, menyimpan kesetiaanya dalam rentang waktu. Mengikuti tiap langkah kita dari masa ke masa.

Terkadang. Kesetiaan muncul diam-diam tanpa kita sadari. Karena sekali dua kali kita mengukur kesetiaan dari waktu atau kehadiran, tenaga atau bantuan nyata, dari dukungan kata-kata atau gerak dan air muka. Kita kadang terlupa akan kesetiaan hati yang meski pada umumnya terpancar lewat hal-hal yang kasat mata, juga tersalur untuk kita dalam energi-energi yang kita tidak sadari penerimaannya.

Kadang setia muncul dari kritikan, sindiran, cemoohan. Bila itu terus-menerus kita terima dalam jangka waktu panjang. Bukan jangka waktu tertentu. Karena setia bukan sesuatu yang terbatas seperti juga sabar misalnya. Meski dapat dievaliasi berkala, sesungguhnya setia adalah selamanya. Seperti halnya prestasi-prestasi yang hanya bisa kita simpulkan di akhir hidup seorang anak manusia.

Setia juga tidak terlihat dari berapa banyak seseorang menerima kesetiaan atau memberika kesetiaan. Karena setia bukan untuk sebagian kita. Tapi untuk keseluruhan diri kita. Kekecewaan yang kita terima hari ini bukan berarti akhir dari sebuah kesetiaan. Karena setia adalah sesuatu yang semakin indah bila kita lihat dari jauh. Karena semakin hari kita akan melihat jelas kesetiaan itu.

Sebab kesetiaan lebih jernih terlihat dari saat ini ke saat-saat silam. Semakin mundur ke belakang, semakin tersadar kita siapa dan apa yang setia pada kita dan apa dan siapa yang kita berikan kesetiaan. Dengan atau tanpa kesadarannya akan kesetiaan yang kita terima dan kita beri.

Jauh di atas segalanya. Betapa setia nya Tuhan menjaga kita. Memberi kehidupan dengan segala sesuatu di dalamnya yang menyampaikan kita hingga hari ini. Sebuah kesetiaan yang kadang tidak saya balas dengan sekadar usaha untuk juga setia pada-Nya, lewat hal-hal yang dicintainya. Melalui penghindaran akan segala sesuatu yang dibenci-Nya. Seperti syair sebuah lagu, bahkan saya tidak sanggup mengungkap diri sebagai seorang yang sekadar berusaha setia, bila tidak ada ganjaran untuk itu.

Ketika neraka atau surga tidak ada. Maka apakah saya akan tetap setia mengabdi pada-Nya sebagai hamba? Ah. Terlalu malu saya untuk berharap. Apalagi menjawab Saya memilih berharap untuk dapat selalu setia dalam diam. Dalam rasa malu tak berkesudahan akan besarnya kesetiaan-Nya pada seorang hambanya yang hina seperti saya.

-buat IQB terimakasih untuk lagu pengganti nada sambungnya. Membuat saya berpikir kembali tentang kesetiaan. Btw, telponnya angkat dooong! Hihihihi-

Kamis, 31 Maret 2005
Zirlygita Jamil

Comments

Anonymous said…
komentar tulisan : agak bingung juga ya dari awal saya anggap setia pada seseorang ditengah setia pada Allah ( sebenarnya ini mutlak tak ada celah untuk komentari setia pada ALLAH )diakhir bicara lagi pada IQB tentang setia. jadi setia apa yang neng gita maksud.? ( atau aku yang lemot nih ? hihihihi )
Komentar setia : saat kita sedang bahagia ia ikut merasakannya dengan suka cita dan saat sedih ia sesedih diri kita....tapi karena Allah loh.
jamil said…
To Tuan Trihadian:

Pelanggan Yang Terhormat,
tulisan ini berawal dari suatu siang
dmana saya bermaksud menghubungi seorang teman yang ternyata memasang lagu pengganti nada sambungnya

lagu itu bercerita tentang keikhlasan tepatnya
namun saya menulis dari sudut pandang 'setia'

saya memang juga berbicara tentang manusia di sekeliling kita. Namun juga tentang kesetiaan kita tertinggi, yaitu pada-Nya.

intinya, ketika Tuhan tidak memberikan ganjaran surga atau neraka, apakah kita tetap setia pada-Nya?

ataukah kita mengabdi pada-Nya karena berharap mendapatkan surga? ataukah karena ketakutan akan neraka?
ataukah kerena kita memang begitu mencintai-Nya, dan begitu setia mengabdi meski tanpa imbalan apa-apa?

karena saya sendiri kerapkali merasa,
saya lebih sering mengingat kebaikan saya karena harap akan surga
dan lebih sering lagi mengingat kemaksiatan yang saya lakukan karena takut akan siksa

....

hiks

(Zirlygita jamil)
Anonymous said…
Delhi, Vijay Nagar, Thu. afternoon,
24 Nov.05.

My dear Jamil.

RECIPROCAL?.
"""""""""""""

You wrote that God with all of Her kindness always protect us and bestow everything to us in this life until today. You wrote very frankly we are not always reciprocal to God's sincerity.

Mr.Trihadian wrote his interesting comment about our happiness,sadness and the present of God.

This is a nice point to discuss
further.

Love:
OJB.
jamil said…
To My Luvly daddy:

Dear Man Uing,

i really glad and honored everytime i get ur comment here, on my blog that hasn't change from several month ago :p

that's make me feel that im closer to u, eventhough the distance has separate us, and for all of that i would say Great Thanks to Allah Swt., whose make the people can build they "global village" by no need to be present in one time for communicate each other :)

Thanks for ur visiting here, Dad!


(Zirlygita Jamil)
Anonymous said…
Delhi, Vijay Nagar, Tue.evening, 29 Nov.2005.

Dear Jamil.

BETWEEN THE LINES.
******************

Your blog hasn'n change you wrote.
You mean you were absent for several months from filling your
blog!.

Why should you add the contents of your blog if you did not have
the time or not in the mood to wrire.

There is the time to write down and on the other hand there is the
time to cease, to pause to silent.
Both of the times:
--- writing times and
--- silent times
are equally good.

In your silent, we still could enjoy all that's written, especially if we read the things
between the lines.

In my place, I don't feel a necessity to see additional contents since the present contents are already too much for me to comment.

Old writing or new writing is the
same. We are talking about an idea
not a news.

Love: OJB.
Anonymous said…
Delhi,Hudson Lane, Sat.evening, 17 Dec.2005.

Dear Jamil,

S H E
S T E P S
O N
O U R
T O E S ?.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

We do think once in a while any idea to repay A (God) for all of Her blessings that She has bestowed on us.

Yes, one time and on the other times we thought about reciprocal attitude to A.

But how can we pay for all A's kindness, we as this weak and humble creatures?.

I think you were in the feelings that you are not in remembering A all time. For most of the people, who could in remembering A all time?.
Possibly you mean you did not remember A more time as you wish.

Well, if it was the case, do you think A will get angry to us as Her creatures who have no thankful hearts?.
I don't feel so since She is the Most Merciful, Compassionate &
Understanding.

Of course She glads that we are in remembrance Her. But when we
are not in remembering do not make Her unhappy because we agree that She is free from all negative attitudes, right?. Unhappy is one of negative attitudes!.
She just gives us the time to know ourselves and know Her.

She does not force us to love, to remember, to contemplate about ourselves and Her since a force
like that do not in according with
Her Mercy, Compassion and Understanding. Agree?.

It is not like that She steps on our toes and demands our saying "I love you!". What kind of god we have if we are having God like that?.

We remember God for our own blessed
hearts and benefits not for the need and happiness of A. Is that so?.

We remember A because we "know" who we are in relations with A.
The quantity of remembrances and the duration of remembering depend
to how far and how deep our awareness to that relationships.

Do not remember Her often enough?.
Don't worry, we still have the time to improve ourselves and hopefully not too late ...
We are in full hope for ourselves. Do anyone disagree?.

Love: Orto Delh.

Popular Posts