Miskin
“…Miskin selalu tak semata soal uang, melainkan juga soal struktural dan mental. Sebagaimana perang lain, perang melawan kemiskinan juga harus total…”
Kalimat di atas ada dalam resonansi HU Republika, Jumat, 4 Maret 2005, yang ditulis oleh salah satu penulis favorit saya, Bapak Zaim Uchrowi.
Selain browsing untuk menambah pengetahuan yang tidak ter-revisi sejak lama karena (merasa) tidak sempat membaca Koran, saya yang memang penggemar kolom resonansi-nya HU Republika membuka-buka arsip resonansi di layanan online surat kabar harian itu.
Saya yang menurut teman-teman dekat memiliki “mental miskin” karena tidak bisa memenej keuangan meski sudah diberi tanggung jawab untuk mengelolanya sejak duduk di sekolah menengah pertama (SMP), menghentikan pandangan pada kalimat di atas di artikel dengan judul “Perang Lawan Kemiskinan” tersebut.
Meski artikel dalam surat kabar itu tidak berbicara tentang individu, melainkan diperlukannya dukungan yang komprehensif terhadap perjuangan melawan kemiskinan, saya cukup tersentak ketika membaca kalimat …miskin selalu tak semata soal uang, melainkan juga soal struktural dan mental, yang segera saya kaitkan dengan urusan pribadi saya, si pemboros ini.
Walau penulis kolom resonansi disitu membicarakan kemiskinan dari sudut pandang struktur masyarakat dan hal-hal yang menjaga serta menumbuhsuburkan potensi kemiskinan itu, saya dengan egoisnya merasa perlu memikirkan bagaimana caranya agar diri saya sendiri dapat membebaskan diri dari kungkungan mental yang miskin. Sehingga, minimal saya dapat mengelola keuangan dengan baik.
Bukan hidup pas-pasan yang saya inginkan, karena seorang Muslim itu harus berusaha menjadi seorang yang kaya, bukan? Sederhananya, saya sekadar ingin menjadi seseorang yang hidup berkecukupan, bahkan lebih, atau kaya, yang tentunya untuk sampai ke posisi itu saya tidak boleh bermental miskin. Saya harus bermental kaya.
Untuk mewujudkan keinginan saya itu, saya merasa tidak dapat terus menerus berada dalam kondisi mental seperti ini (baca: bermental miskin). Pulsa saya mengalir lebih deras dibandingkan teman-teman. Pengeluaran saya berlari lebih kencang menjauh dari saya, meski saat itu tidak lebih dari sepekan dari saat saya menerima upah dari pekerjaan saya bantu-bantu di sebuah lembaga sosial. Sementara teman-teman saya masih anteng dengan ongkos hariannya sehari-hari, tanpa mengurangi anggaran mereka untuk menabung.
Selama ini saya tidak merasa perlu untuk membenahi kebiasaan buruk saya dalam manajemen. Toh, saya pikir, kekurangan uang di akhir bulan itu hanya sebuah konsekuesi dari sebuah pengeluaran yang besar di awal bulan. Tapi ketika saya merenungkan lebih jauh lagi, saya memang terlalu tanpa perencanaan dalam mengelola keuangan saya. Sejak masih dalam bentuk uang saku, maupun pendapatan tetap per bulan upah saya bekerja.
Terlebih ketika saya berpikir suatu hari saya harus berkeluarga. Dimana saya tidak hanya memikirkan tentang diri saya belaka. Tetapi juga suami dan anak-anak saya. Oke lah saya bisa tahan dengan bersuka-suka dahulu bercekak-cekak kemudian. Tapi tidak demikian dengan orang lain di luar diri saya. Paling tidak, dari hasil perenungan singkat saya ketika membaca artikel di surat kabar online siang tadi, saya berharap sebuah perbaikan diri dalam memenej keuangan pribadi dapat saya lakoni. Sulit pastinya, karena saya tidak terbiasa. Tetapi satu kalimat yang selalu dan akan selalu menyemangati hidup saya adalah: sulit itu tidak sama dengan tidak mungkin.
Kalimat di atas ada dalam resonansi HU Republika, Jumat, 4 Maret 2005, yang ditulis oleh salah satu penulis favorit saya, Bapak Zaim Uchrowi.
Selain browsing untuk menambah pengetahuan yang tidak ter-revisi sejak lama karena (merasa) tidak sempat membaca Koran, saya yang memang penggemar kolom resonansi-nya HU Republika membuka-buka arsip resonansi di layanan online surat kabar harian itu.
Saya yang menurut teman-teman dekat memiliki “mental miskin” karena tidak bisa memenej keuangan meski sudah diberi tanggung jawab untuk mengelolanya sejak duduk di sekolah menengah pertama (SMP), menghentikan pandangan pada kalimat di atas di artikel dengan judul “Perang Lawan Kemiskinan” tersebut.
Meski artikel dalam surat kabar itu tidak berbicara tentang individu, melainkan diperlukannya dukungan yang komprehensif terhadap perjuangan melawan kemiskinan, saya cukup tersentak ketika membaca kalimat …miskin selalu tak semata soal uang, melainkan juga soal struktural dan mental, yang segera saya kaitkan dengan urusan pribadi saya, si pemboros ini.
Walau penulis kolom resonansi disitu membicarakan kemiskinan dari sudut pandang struktur masyarakat dan hal-hal yang menjaga serta menumbuhsuburkan potensi kemiskinan itu, saya dengan egoisnya merasa perlu memikirkan bagaimana caranya agar diri saya sendiri dapat membebaskan diri dari kungkungan mental yang miskin. Sehingga, minimal saya dapat mengelola keuangan dengan baik.
Bukan hidup pas-pasan yang saya inginkan, karena seorang Muslim itu harus berusaha menjadi seorang yang kaya, bukan? Sederhananya, saya sekadar ingin menjadi seseorang yang hidup berkecukupan, bahkan lebih, atau kaya, yang tentunya untuk sampai ke posisi itu saya tidak boleh bermental miskin. Saya harus bermental kaya.
Untuk mewujudkan keinginan saya itu, saya merasa tidak dapat terus menerus berada dalam kondisi mental seperti ini (baca: bermental miskin). Pulsa saya mengalir lebih deras dibandingkan teman-teman. Pengeluaran saya berlari lebih kencang menjauh dari saya, meski saat itu tidak lebih dari sepekan dari saat saya menerima upah dari pekerjaan saya bantu-bantu di sebuah lembaga sosial. Sementara teman-teman saya masih anteng dengan ongkos hariannya sehari-hari, tanpa mengurangi anggaran mereka untuk menabung.
Selama ini saya tidak merasa perlu untuk membenahi kebiasaan buruk saya dalam manajemen. Toh, saya pikir, kekurangan uang di akhir bulan itu hanya sebuah konsekuesi dari sebuah pengeluaran yang besar di awal bulan. Tapi ketika saya merenungkan lebih jauh lagi, saya memang terlalu tanpa perencanaan dalam mengelola keuangan saya. Sejak masih dalam bentuk uang saku, maupun pendapatan tetap per bulan upah saya bekerja.
Terlebih ketika saya berpikir suatu hari saya harus berkeluarga. Dimana saya tidak hanya memikirkan tentang diri saya belaka. Tetapi juga suami dan anak-anak saya. Oke lah saya bisa tahan dengan bersuka-suka dahulu bercekak-cekak kemudian. Tapi tidak demikian dengan orang lain di luar diri saya. Paling tidak, dari hasil perenungan singkat saya ketika membaca artikel di surat kabar online siang tadi, saya berharap sebuah perbaikan diri dalam memenej keuangan pribadi dapat saya lakoni. Sulit pastinya, karena saya tidak terbiasa. Tetapi satu kalimat yang selalu dan akan selalu menyemangati hidup saya adalah: sulit itu tidak sama dengan tidak mungkin.
Comments
kalo aku ge,...aku biasanya sisihkan sebagian utk langsung dimasukin ke tabungan yang 'haram buat disentuh2'...alias gak boleh diambil kecuali kepepet banget banget.
yang ditaro di dompet adl ongkos sehari2 aja.
n karena dah nikah, jadi sebagian lagi ditabung utk tabungan berdua.
so far cukup berhasil sih, walau nabung masih dikit2...tapi yang penting ada tabungan. kayaknya kalo dalam sebulan gak nabung, rasanya gagal banget gitu...hehehe
bagi-bagi ilmu ajah...
iya beb,
tengkyu yah udah sharing...
pernah siy bgituwh
dan berhasil untuk beberapa waktu
lalu tidak disiplin
lalu menghilang bersama hembusan angin..
hihihihi....
*thx 4 coming, hunny...*
merubah gaya hidup...atau menaikan pendapatan Financial.
(tri)
Jazakallah dah mampir, misteerrrr...
hehehe...
iya siy...
aku pin ikutin saran mister dey,
aku mengubah gaya hidup jadi lebih baik dalam manajemen
dan menambah kekuatan finansial jadi lebiy semangat cari duit
hihihihi...
(amiiinnnn....)
My dear Jamil,
***************
NEW ATTITUDE.
***************
***************
It should be very easy to see the problems of the poor people and their really needs. Of course we should start from their daily needs.
Everyone of us will agree to what are the daily necessities of those people. It is a very simple
question if ever been asked: How to help those people to stay alive today.
Then, the next question is how to help them to be selfsupporting.
Every one of us is readily argreed that the new attitudes to the life, the works, the business and the living together as a world human community are needed by the poor themselves, the national & international governments and the people who stay among the haves of the world.
For the poor, it's very important to understand that after filling his stomach he should improve himself to be able to do
a better paid job with more added values to the goods and the services. The question arises here: what kind of jobs available and how he could manage his improvements.
The economic and political policies can cause the increasing number of people sans proper life supports, trainings and educations. The past government
policy which had emphasized to the macro economic development had worsened the prosperity of the people in the grass root level.
The haves of the world who always
want to get more richer every time through more and more benefits from their money should
be aware that they could not stay
richer alone without some attentions to the poor people who stay in his neighbourhood.
Any citizen of the world today has found himself as the neighbour of every one after the social and technological development in the world created a new man community: a global village.
So many things have to be discussed on the eradication of the poor. But actions are speaking louder than just words.
Love:
Orto Delh.
4 coming...
:)
it's very enrichfull comment
:)