Kita, Bukan Aku atau Kamu, Apalagi Dia
Jawaban sederhananya, karena sahabat terlebih saudara kandung lebih berarti bagi kita, karena mereka lebih lekat di hari-hari kita, sehingga kata-kata atau perlakuan tidak menyenangkan dari mereka lebih membuat kita kesal, bahkan membuat kita sedih. Kita merasa seharusnya mereka yang kita anggap bagian dari diri sendiri tidak membuat kita sedih, alih-alih sakit hati. Kalau mas-mas kondektur sih, biarin aja kaliii…
Begitu juga dengan rekan kerja. Mereka adalah saudara-saudara kita.
Kita bertemu rekan kerja dari pagi hari sampai sore menjelang senja. Bila tidak bertemu karena tidak satu ruangan misalnya, toh tetap bisa bertukar sapa saat bertemu di musholla, kantin, ruang rapat, atau di perjalanan menuju ketempat-tempat tadi. Ketika seharian tidak bertemu sama sekali, toh kita sesungguhnya tetap terpaut hati, minimal satu visi misi lembaga besar.
Namun begitu tak ada gading yang tak retak kan, katanya? Yaah, namanya silap kata, sikap dan hati itu umum ada dalam sebuah interaksi sehari-hari. Mungkin satu kali kita tersinggung oleh kata-kata kurang enak yang diceletukkan rekan kerja, atau kali lainnya kita yang membuat rekan kerja mangkel. Selingan-selingan seperti itu sulit dihindari karena banyak hal, salah satunya karena secara fitrah kita memang dikarunia emosi oleh Allah Swt.
Dalam satu bahasan tentang kerja tim, disebutkan disitu kalau ada 4 tahapan dalam proses pembentukan tim kerja. Forming, Storming, Norming dan Performing, yang secara singkat kira-kira prosesnya seperti ini: perkenalan yang kikuk, pergesekan kepentingan yang panas, persahabatan yang hangat lalu yang terakhir adalah performance tim kerja yang sukses. Sukses mencapai target lembaga dan sukses melewati jenjang komunikasi interpersonal dalam tim kerja.
Bisa jadi kita sudah berbilang tahun berpengalaman bekerja dalam tim kerja, tapi bisa juga karena sukses bersinergi, kita kembali menjadi pemula dalam tim kerja, dalam arti kita kembali ke awal dimana kita baru-baru saja memulai kerja dengan tim yang baru. Kikuk, karena masih harus mengingat-ingat si mbak ini namanya siapa, si mas itu panggilannya siapa, ibu itu posisinya apa, bapak yang ini apakah memang pendiam atau kadang bisa juga diajak bercanda, dan yang lainnya.
Kemudian bisa saja kita kemudian menemukan diri berfriksi dengan tim kerja atau dengan sesama tim kerja dalam lembaga yang sama, meski kemudian, kalau si analisis penulis tahapan tim kerja tadi benar, kita toh akan saling memahami pada akhirnya, saling kenal lalu saling mengerti, saling melayani untuk menghasilkan manfaat yang lebih besar pada para mustahik kaum dhuafa.
Ya! Melayani orang lain itu kunci kita sukses bekerja sama dalam lembaga. Lebih kecil lagi, kita bisa sukses dalam skup tim kerja kita. Kenapa begitu? Karena dengan tujuan melayani orang lain, kita tidak memfokuskan diri pada diri sendiri, kita mengalahkan ego demi mengumpulkan sebanyak-banyaknya manfaat yang bisa diberikan untuk orang lain.
Jadi, berlapang-lapanglah, lapang hati untuk saling memaafkan, lapang tangan untuk saling membantu, lapang rasa untuk saling percaya bahwa tiap kita berniat baik untuk tujuan yang baik pula. Bila kita mengalahkan ego dengan menempatkan melayani mustahik yang dhuafa itu lebih penting kita perhatikan, maka, semoga saja kemungkinan friksi-friksi dalam tahap storming di tim kerja bisa kita lalui dengan segera. Atau, mungkin saja tak perlu kita lalui. Kita berkenalan, kita saling terbuka dan saling bantu, lalu kita sukses mencapai target melayani mereka yang membutuhkan bantuan. Insya Allah! (Ge’)
Comments