Graffiti
![]() |
sumber photo : internet ^-^ |
Graffiti (singular: graffito; the plural is used as a mass noun) is writing or drawings scribbled, scratched, or sprayed illicitly on a wall or other surface in a public place
Pagi tadi. Saat ojek yang saya tumpangi mengurangi laju
kecepatannya saat berbelok, saya sempat membaca sebuah “graffiti” di sebuah
tiang listrik. Tidak jauh dari kantor dimana selama ini saya bekerja sebagai
amil zakat.
Uniknya, “graffiti” kali ini tidak lazim. Umumnya, yang
melakukan “graffiti” adalah anak-anak usia sekolah, dan yang mereka torehkan
pun tidak jauh dari hal-hal yang ada di keseharian mereka. Nama atau inisial
lembaga pendidikan dimana mereka bersekolah, misalnya. Atau nama “panggilan
khusus” si personal yang membuat “graffiti” itu sendiri, entah itu Muhammad
Arifin jadi ‘Khodenk’ atau ‘Bhadex’ untuk si Rudi Siswanto.
“graffiti” yang saya lihat pagi ini di tiang listrik tadi
adalah PALESTINE. Tak jauh dari “graffiti” tersebut ada nama sekolah yang saya
duga adalah sekolah dimana di pembuat “graffiti” mengenyam pendidikan. “graffiti”
di dekat PALESTINE itu adalah G****L
ISLAMIC SCHOOL.
Kenapa saya anggap unik? Karena sepengetahuan saya yang
sedikit ini, jarang sekolah islam berjibaku dalam ‘perang graffiti’ di fasum
sepetti tiang listrik , boks telepon umum, atau non-fasum macam tembok rumah
orang. Keunikan yang lebih menarik buat saya adalah kata yang di“graffiti”-kan
tadi. PALESTINE. Nama sebuah negara yang identik dengan perjuangan warganya
melawan penjajahan negara lain. Dan bagi saya rasanya nama yang sepertinya aneh
dicoretkan tanpa bubuhan, misalnya FREEDOM FOR atau sejenisnya.
Tapi kemudian saya jadi curiga. Apa jangan-jangan itu
singkatan ya? Kadang anak usia sekolah juga gemar membuat “graffiti” yang
merepresentasikan sekolahnya. ‘BHEKA’ untuk SMU Bunda Kandung di Poltangen,
Pasar Minggu. SACOVA, untuk sebuah SMP di bilangan Jakarta Selatan, yag
aselinya tertulis SMP 104. Rupanya ‘sacova’ itu dari SAtu COsong emVAt. Ada-ada
saja.
Kemudian, setelah bercuriga ria, saya kembali lagi ke
pemikiran awal. Menurut saya “graffiti” di tiang listrik tadi cukup “lain
daripada yang lain”. Minimal saya sampai saat ini masih menganggapnya istimewa
karena dua hak di atas, pertama, menggunakan kata yang mewakili negara yang
khas, dan kedua, diembel-embeli dengan nama sekolah islam lengkap dengan “islamic
school” dibelakangnya.
Tapiii…terlepas dari ketertarikan saya ituu…saya sih tetap
setuju kalo “graffiti” seperti itu mengotori lingkungan karena merusak
keindahan dan kerapihan eksterior tata kota (bener ngga nih ya, istilahnya?).
Kadang yang ditulis juga ngga berarti kecuali menandakan kedangkalan (maaf)
otak sipencoret-coret tersebut. Bahkan banyak yang ‘asusila’ alias
gambar-gambar yang dimaksudkan sebagai gambar porno, sehingga makin membuat
orang yang lalu-lalang melewatinya merasa jengah. Tak nyaman.
Lucunya, ternyata kebiasaan membuat “graffiti” ini juga
dibawa-bawa ke luar negeri. Contohnya di saat berhaji atau umroh. Di jabal
rahmah misalnya. Tugu yang seharusnya mengingatkan kita akan sejarah adam wal
hawa, malah dicoret-coret dengan nama diri atau bahkan doa dengan sederet
permintaan! Sungguh realita yang menyedihkan sekaligus bikin tertawa saat
melihatnya. dan kenapa saya bilang itu adalah orang kita alias orang Indonesia?
Ya dari nama dan bahasanya yang ditulis laah…
(Zirlygita Jamil)
Jumat, 3 Februari 2012
-Kebon Sirih 57, lepas makan siang
yang Alhamdulillah enak-
Comments